BAHAN AJAR DRAMA/TEATER


Bahan Ajar Teori dan Pementasan Drama/Teater

DRAMA/TEATER

BAB I
HAKIKAT DAN SEJARAH DRAMA/TEATER
1. Pengertian Drama/Teater
Sebagai suatu genre sastra, drama mempunyai kekhususan dibandingkan dengan genre sastra lain, layaknya piuisi dan fiksi. Kesan dan kesadaran terhadap drama lebih difokuskan kepada bentuk karya yang bereaksi langsung secara kongkret. Kekhususan drama disebabkan tujuan drama ditulis oleh pengarangnya tidak hanya berhenti sampai pada tahap pembeberan peristiwa untuk dinikmati secara artistik imajenatif oleh pembacanya, melainkan juga harus dilanjutkan pada sebuah pementasan secara visual di atas panggung pertunjukkan. Kekhususan drama inilah yang menjadikan drama sebagai genre sastra yang berorientasi pada seni pertunjukkan dibanding genre sastra lain. Untuk itulah, drama dapat dianggap sebagai suatu karya yang memiliki dua dimensi, yakni dimensi sastra dan dimensi seni pertunjukkan. Untuk lebih jelas, berikut akan digambarkan secara singkat hubungan teater dan drama sebagai satu kesatuan yang utuh.
Teater berasal dari kata Yunani, theatron (bahasa Inggris, Seeing Place) yang artinya tempat atau gedung pertunjukan. Dalam perkembangannya, dalam pengertian lebih luas kata teater diartikan sebagai segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Dengan demikian, dalam rumusan sederhana teater adalah pertunjukan, misalnya ketoprak, ludruk, wayang, wayang wong, sintren, janger, mamanda, dagelan, sulap, akrobat, dan lain sebagainya.
Teater dapat dikatakan sebagai manifestasi dari aktivitas naluriah, seperti misalnya, anak-anak bermain sebagai ayah dan ibu, bermain perang-perangan, dan lain sebagainya. Selain itu, teater merupakan manifestasi pembentukan strata sosial kemanusiaan yang berhubungan dengan masalah ritual. Misalnya, upacara adat maupun upacara kenegaraan, keduanya memiliki unsur-unsur teatrikal dan bermakna filosofis. Berdasarkan paparan di atas, kemungkinan perluasan definisi teater itu bisa terjadi. Harymawan (dalam Santosa, 2008:1) membatasi teater sebagai berikut: “tidak ada teater tanpa aktor, baik berwujud riil manusia maupun boneka, terungkap di layar maupun pertunjukan langsung yang dihadiri penonton, serta laku di dalamnya merupakan realitas fiktif”. Dengan demikian teater adalah pertunjukan lakon yang dimainkan di atas pentas dan disaksikan oleh penonton.
Namun, teater selalu dikaitkan dengan kata drama yang berasal dari kata Yunani Kuno draomai yang berarti bertindak atau berbuat. Kata lain dari drama yakni drame yang berasal dari kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Dalam istilah yang lebih ketat berarti lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting tapi tidak bertujuan mengagungkan tragika. Kata “drama” juga dianggap telah ada sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani Kuno (800-277 SM).
Hubungan kata teater dan drama bersandingan sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yang mempergunakan drama lebih identik sebagai teks atau naskah atau lakon atau karya sastra (Santosa, 2008:1).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah teater berkaitan langsung dengan pertunjukan, sedangkan drama berkaitan dengan lakon atau naskah cerita yang akan dipentaskan. Jadi, teater adalah visualisasi dari drama atau drama yang dipentaskan di atas panggung dan disaksikan oleh penonton. Jika drama adalah lakon dan teater adalah pertunjukan maka drama merupakan bagian atau salah satu unsur dari teater. Jika digambarkan maka peta kedudukan teater dan drama adalah sebagai berikut.






Dengan kata lain, secara khusus teater mengacu kepada aktivitas melakukan kegiatan dalam seni pertunjukan (to act) sehingga tindaktanduk pemain di atas pentas disebut akting. Istilah akting diambil dari kata Yunani dran yang berarti, berbuat, berlaku, atau beraksi. Karena aktivitas beraksi ini maka para pemain pria dalam teater disebut aktor dan pemain wanita disebut aktris (Harymawan dalam Santosa, 2008:2). Meskipun istilah teater sekarang lebih umum digunakan tetapi sebelum itu istilah drama lebih populer sehingga pertunjukan teater di atas panggung disebut sebagai pentas drama. Hal ini menandakan digunakannya naskah lakon yang biasa disebut sebagai karya sastra drama dalam pertujukan teater.
Di Indonesia, pada tahun 1920-an, belum muncul istilah teater. Yang ada adalah sandiwara atau tonil (dari bahasa Belanda: Het Toneel). Istilah Sandiwara konon dikemukakan oleh Sri Paduka Mangkunegoro VII dari Surakarta. Kata sandiwara berasal dari bahasa Jawa sandi berarti rahasia, dan wara atau warah yang berarti, pengajaran. Menurut Ki Hajar Dewantara sandiwara berarti pengajaran yang dilakukan dengan perlambang (Harymawan dalam Santosa, 2008:3).
Rombongan teater pada masa itu menggunakan nama Sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan (Kasim Achmad, dalam Santosa, 2008:4). Keterikatan antara teater dan drama sangat kuat. Teater tidak mungkin dipentaskan tanpa lakon (drama). Oleh karena itu pula dramaturgi menjadi bagian penting dari seni teater.
Dramaturgi berasal dari bahasa Inggris dramaturgy yang berarti seni atau tekhnik penulisan drama dan penyajiannya dalam bentuk teater. Berdasar pengertian ini, maka dramaturgi membahas proses penciptaan teater mulai dari penulisan naskah hingga pementasannya. Menurut Harymawan (dalam Santosa, 2008:4) tahapan dasar untuk mempelajari dramaturgi yang disebut dengan formula dramaturgi. Formula ini disebut dengan fromula 4 M yang terdiri dari, menghayalkan, menuliskan, memainkan, dan menyaksikan.
M1 atau menghayal, dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang karena menemukan sesuatu gagasan yang merangsang daya cipta. Gagasan itu timbul karena perhatian ditujukan pada suatu persitiwa baik yang disaksikan, didengar maupun dibaca dari literatur tertentu. Bisa juga gagasan itu timbul karena perhatian ditujukan pada kehidupan seseorang. Gagasan atau daya cipta tersebut kemudian diwujudkan ke dalam besaran cerita yang pada akhirnya berkembang menjadi sebuah lakon untuk dipentaskan.
M2 atau menulis, adalah proses seleksi atau pemilihan situasi yang harus dihidupkan bagi keseluruhan lakon oleh pengarang. Dalam sebuah lakon, situasi merupakan kunci aksi. Setelah menemukan kunci aksi ini, pengarang mulai mengatur dan menyusun kembali situasi dan peristiwa menjadi pola lakon tertentu. Di sini seorang pengarang memiliki kisah untuk diceritakan, kesan untuk digambarkan, suasana hati para tokoh untuk diciptakan, dan semua unsur pembentuk lakon untuk dikomunikasikan.
M3 atau memainkan, merupakan proses para aktor memainkan kisah lakon di atas pentas. Tugas aktor dalam hal ini adalah mengkomunikasikan ide serta gagasan pengarang secara hidup kepada penonton. Proses ini melibatkan banyak orang yaitu, sutradara sebagai penafsir pertama ide dan gagasan pengarang, aktor sebagai komunitakor, penata artsitik sebagai orang yang mewujudkan ide dan gagasan secara visual serta penonton sebagai komunikan.
M4 atau menyaksikan, merupakan proses penerimaan dan penyerapan informasi atau pesan yang disajikan oleh para pemain di atas pentas oleh para penonton. Pementasan teater dapat dikatakan berhasil jika pesan yang hendak disampaikan dapat diterima dengan baik oleh penonton. Penonton pergi menyaksikan pertunjukan dengan maksud pertama untuk memperoleh kepuasan atas kebutuhan dan keinginannya terhadap tontonan tersebut.
Formula dramaturgi seperti disebutkan di atas merupakan tahap mendasar yang harus dipahami dan dilakukan oleh para pelaku teater. Jika salah satu tahap dan unsur yang ada dalam setiap tahapan diabaikan, maka pertunjukan yang digelar bisa dipastikan kurang sempurna. Oleh karena itu, pemahaman dasar formula dramaturgi dapat dijadikan acuan proses penciptaan karya seni teater.

2. Sejarah Drama di Dunia
2.1 Drama Klasik
Yang disebut drama klasik adalah drama yang hidup pada zaman Yunani dan Romawi. Pada masa kejayaan kebudayaan Yunani maupun Romawi banyak sekali karya drama yang bersifat abadi, terkenal sampai kini.
1. Zaman Yunani.
Asal mula drama adalah Kulrus Dyonisius. Pada waktu itu drama dikaitkan dengan upacara penyembahan kepada Dewa Domba/Lembu. Sebelum pementasan drama, dilakukan upacara korban domba/lembu kepada Dyonisius dan nyanyian yang disebut “tragedi”. Dalam perkembangannya, Dyonisius yang tadinya berupa dewa berwujud binatang, berubah menjadi manusia, dan dipuja sebagai dewa anggur dan kesuburan. Komedi sebagai lawan dari kata tragedi, pada zaman Yunani Kuno merupakan karikatur terhadap cerita duka dengan tujuan menyindir penderitaan hidup manusia.
Ada 3 tokoh Yunani yang terkenal, yaitu: Plato, Aristoteles, dan Sophocles. Menurut Plato, keindahan bersifat relatif. Karya karya seni dipandanganya sebagai mimetik, yaitu imitasi dari kehidupan jasmaniah manusia. Imitasi itu menurut Plato bukan demi kepentingan imitasi itu sendiri, tetapi demi kepentingan kenyataan. Karya Plato yang terkenal adalah The Republic.
Aristoteles juga tokoh Yunani yang terkenal. Ia memandang karya seni bukan hanya sebagai imitasi kehidupan fisik, tetapi harus juga dipandang sebagai karya yang mengandung kebijakan dalam dirinya. Dengan demikian karya-karya itu mempunyai watak yang menentu.
Sophocles adalah tokoh drama terbesar zaman Yunani. Tiga karya yang merupakan tragedi, bersifat abadi, dan temanya Relevan sampai saat ini. Dramanya itu adalah: “Oedipus Sang Raja”, “Oedipus di Kolonus”, dan “Antigone”. Tragedi tentang nasib manusia yang mengenaskan.
Tokoh Lain yang dipandang tokoh pemula drama Yunani adalah Aeschylus, dengan karya-karyanya: “Agamenon”, “The Choephori”, “The Eumides”. Euripides yang hidup antara 485-306 SM, merupakan tokoh tragedi, seperti halnya Aeschylus. Karya-karya Euripides adalah: Electra, Medea, Hippolytus, The Troyan Woman dan Iphigenia in Aulis.
Jika Aeschylus, Sophocles, dan Euripides merupakan tokoh strategi, maka dalam hal komedi ini mengenal tokoh Aristophanes. Karya-karyanya adalah : The Frogs, The Waps, dan The Clouds.
Bentuk Stragedi Klasik, dengan ciri-ciri tragedi Yunani adalah sebagai berikut :
1) Lakon tidak selalu diakhiri dengan kematian tokoh utama atau tokoh protagonis.
2) Lamanya Lakon kurang dari satu jam.
3) Koor sebagai selingan dan pengiring sangat berperan (berupa nyanyian rakyat atau pujian).
4) Tujuan pementasan sebagai Katarsis atau penyuci jiwa melalui kasih dan rasa takut.
5) Lakon biasanya terdiri atas 3-5 bagian, yang diselingi Koor (stasima). Kelompok Koor biasanya keluar paling akhir (exodus).
6) Menggunakan Prolog yang cukup panjang.
Bentuk pentas pada zaman Yunani berupa pentas terbuka yang berada di ketinggian. Dikelilingi tempat duduk penonton yang melingkari bukit, tempat pentas berada di tengah-tengah. Drama Yunani merupakan ekspresi religius dalam upacara yang bersifat religius pula.
Bentuk Komedi, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1) Komedi tidak mengikuti satire individu maupun satire politis.
2) Peranan aktor dalam komedi tidak begitu menonjol;
3) Kisah lakon dititikberatkan pada kisah cinta, yaitu pengejaran gadis oleh pria yang cintanya ditolak orang tua/famili sang gadis.
4) Tidak digunakan Stock character, yang biasanya memberikan kejutan.
5) Lakon menunjukan ciri kebijaksanaan, karena pengarangnya melarat dan menderita, tetapi kadang-kadang juga berisi sindiran dan sikap yang pasrah.
2. Zaman Romawi
Terdapat tiga tokoh drama Romawi Kuno, Yaitu: Plutus, Terence atau Publius Terence Afer, dan Lucius Senece. Teater Romawi mengambil alih gaya teater Yunani. Mula-mula bersifat religius, lama-kelamaan bersifat mencari uang (show biz). Bentuk pentas lebih megah dari zaman Yunani.

2.2 Teater Abad Pertengahan
Pengaruh Gereja Khatolik atas drama sangat besar pada zaman Pertengahan ini. Dalam pementasan ada nyanyian yang dilagukan oleh para rahib dan diselingi dengan Koor. Kemudian ada pelanggan “Pasio” seperti yang sering dilaksanakan di gereja menjelang upacara Paskah sampai saat ini.
Ciri-ciri khas theater abad Pertengahan, adalah sebagai berikut :
1) Pentas Kereta.
2) Dekor bersifat sederhana dan simbolik.
3) Pementasan simultan bersifat berbeda dengan pementasan simultan drama modern.



2.3 Zaman Italia
Istilah yang populer dalam zaman Italia adalah Comedia Del’arie yang bersumber dari komedi Yunani. Tokoh-tokohnya antara lain: Date, dengan karya-karyanya: The Divina Comedy Torquato Tasso dengan karyanya drama-drama liturgis dan pastoral dan Niccolo Machiavelli dengan karya-karyanya Mandrake.
Ciri-ciri drama pada zaman ini, adalah sebagai berikut :
1) Improvitoris atau tanpa naskah.
2) Gayanya dapat dibandingkan dengan gaya jazz, melodi ditentukan dulu, baru kemudian pemain berimprovisasi (bandingkan teater tradisional di Indonesia).
3) Cerita berdasarkan dongeng dan fantasi dan tidak berusaha mendekati kenyataan.
4) Gejala akting pantomime, gila-gilaan, adegan dan urutan tidak diperhatikan.

2.4 Zaman Elizabeth
Pada awal pemerintahan Ratu Elizabeth I di Inggris (1558-1603), drama berkembang dengan sangat pesatnya. Teater-teater didirikan sendiri atas prakarsa sang ratu. Shakespeare, tokoh drama abadi adalah tokoh yang hidup pada zaman Elizabeth.
Ciri-ciri naskah zaman Elizabeth, adalah:
1) Naskah Puitis.
2) Dialognya panjang-panjang.
3) Penyusunan naskah lebih bebas, tidak mengikuti hukum yang sudah ada.
4) Lakon bersifat simultan, berganda dan rangkap.
5) Campuran antara drama dengan humor.

2.5 Perancis : Molere dan Neoklasikisme
Tokoh-tokoh drama di Prancis antara lain Pierre Corneile (1606-1684, dengan karya-karya: Melite, Le Cid), Jean Racine (1639-1699, dengan karya: Phedra).

2.6 Jerman: Zaman Romantik
Tokoh-tokoh antara lain: Gotthold Ephrairn Lessing (1729-1781, dengan karya Emilla Galott, Miss Sara Sampson, dan Nathan der Weise), Wolfg Von Goethe (1749-1832, dengan karya: Faust, yang difilmkan menjadi Faust and the Devil), Christhoper Frederich von Schiller (1759-1805, dengan karya: The Robbers, Love and Intrigue, Wallenstein, dan beberapa adaptasi dan Shakespeare).

2.7 Drama Modern
1) Norwegia : Ibsen
Tokoh paling terkemuka dalam perkembangan drama di Norwegia adalah Henrik Ibsen (1828-1906). Karya Ibsen yang paling terkenal dan banyak dipentaskan di Indonesia adalah “Nova”, saduran dari terjemahan Armyn Pane “Ratna”. Karya-karya Ibsen adalah Love’s Comedy, The Pretenders, Brand dan Peer Gynt (drama puitis), A Doll House, An Emeyn of the people, The Wild Duck, Hedda Gabler, dan Rosmersholm.
2) Swedia : August Strinberg
Tokoh drama paling terkenal di swedia adalah Strindberg (1849-1912). Karya-karya drama yang bersifat historis dari Strindberg di antaranya adalah Saga of the Folkum dan The Pretenders, Miss Julia dan The Father adalah drama naturalis. Drama penting yang bersifat ekspresionitis adalah A Dream Play, The Dance of Death, dan The Spook Sonata.
3) Inggris : Bernard Shaw dan Drama Modern.
Tokoh drama modern Inggris yang terpenting (setelah Shakespeare) adalah George Bernard Shaw (1856-1950). Ia dipandang sebagai penulis lakon terbesar dan penulis terbesar pada abad Modern.
4) Irlandia : Yeats sampai O’Casey
Tokoh penting drama Irlandia Modern adalah William Butler Yeats yang merupakan pemimpin kelompok sandiwara terkemuka di Irlandia dan Sean O’Casey (1884) dengan karyanya: The Shadow of a Gunman, Juno and the Paycock, The Plough and the Start, The Silver Tassie, Withim the Gates, dan The Start Turns Red. Tokoh lainya adalah John Millington Synge (1871-1909) dengan karya-karya: Riders to the Sea, dan The Playboy of the Western World. Synge merupakan pelopor teater Irlandia yang mengangkat dunia teater menjadi penting disana.
5) Perancis : dari Zola sampai Sartre
Dua tokoh drama terkemuka di Prancis adalah Emile Zola (1840-1902) dan Jean Paul Sartre (1905).
6) Jerman dan Eropa Tengah : dari Hauptman sampai Brecht
Banyak sekali sumbangan Jerman terhadap drama modern Tokoh seperti Hebble dan temannya telah mempelopori a1iran Realisme. Pengarang Naturalis yang terkenal adalah Gerhart Huptman (1862-1945) dan Aflhur Schnitzler (1862-19310).
7) Italia : dari Goldoni sampai Pirandillo
Setalah zaman resenaissance, karya-karya drama banyak berupa opera disamping comedia dell’arte. Tokoh drama Italia antara lain Goldoni (1707-1793) dengan karya Mistress of the Inn. Gabrille D’Annunzio (1863-1938) dan Luigi Pirandello (1867-1936).
8) Spanyol : dari Benavente ke Lorca
Bagi Spanyol, abad XX dipandang sebagai abad kebangkitan dromatic spirit. Tokohnya antara lain: Jacinto Benavente (1866-1954) yang pernah mendapat hadiah Nobel 1922. Sezaman dengan Benavente adalah Gregorio Martinez Sierra (1881-1947) dengan karyanya The Cradle Song. Pengarang paling penting pada zaman modern di Spanyol adalah penyair dan penulis drama Federico Garcia Lorco (1889-1936).
9) Rusia : dari Pushkin ke Andreyev
Tzarina Katerin Agung dipandang sebagai pengembangan drama di Rusia. Pengarang pertama yang dipandang serius adalah Alexander Pushkin (1799-1837) dengan karyanya Boris Godunov, sebuah tragedi historis.
10) Amerika : Golfrey sampai Miller
Pengarang drama yang penting di Amerika adalah Thomas Godfrey, dengan karyanya The Princes of Parthic (1767).
Sejak adanya Broadway sebagai pusat teater, perkembangan teater di Amerika sangat pesat. Tokoh-tokohnya antara lain Eugne Gladstone O’Neill (1888-1953).
Tokoh drama lainya Maxwell Anderson (188-1959). Dengan karyanya: Elizabeth the Queen, Mary of Scotland, dan Anne of Thousand Days. Juga Winterset, What Price Glory, Both Your houses dan High Tor. Thornton Wulder (1897- .....) dengan karyanya Our Town, The Skin of Our Theeth, dan The Matchmake,: Elmer Rice (1892-....), karyanya: Street Scene (mendapat hadiah Pulitzer), The Adding Machine, dan Dream Girl.
Beberapa pengarang lain diantaranya Clifford Odets (yang dikenal dengan protes sosialnya, (Tennesse Williams dan Arthur Miller, Odets (1906-…..). antara lain mengarang: Waiting-for Lefty, Golden Boy, Awake and Sing, The country Girl, dan The Flowering Peach. Pengikut Odets sebagai pengarang protes sosial adalah: Lilian Heilman Saroyan (1905-….). Yang dikenal sebagai pengarang masa kini di antaranya adalah Tennesse Williams (1914-.….) Arthur Miller (1915-….) dan William Inge.
Pengarang lainnya adalah: Robert Anderson (karyanya: Tea and Shympathy, All Summer Long, an Silent Night, Lonely Night). William Gibson (Karyanya: Two for the Seesaw dan The Miracle Worker). Brooks Atkinson (karyanya: The New York Times).
Drama Komedi musikal juga berkembang di Amerika, misalnya: A Trip to Chinatown (oleh Charles Hoyt), Forty Five Minutes from Broadway (oleh George M. Cohan), Of There I Song karya George S.

3. Perkembangan Teater di Indonesia
3.1 Teater Tradisional
Teater yang berkembang dikalangan rakyat disebut teater tradisional, sebagai lawan dari teater modern dan kontemporer. Teater tradisional tanpa naskah (bersifat improvisasi). Sifatnya supel, artinya dipentaskan disembarang tampat. Jenis ini masih hidup dan berkembang didearah – daerah di seluruh Indonesia . Yang disebut teater tradisional itu, oleh Kasim Ahmad diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu sebagai berikut (1981: 113-131).

3.1.1 Teater Rakyat
Sifat teater rakyat seperti halnya teater tradisional, yaitu improvisasi sederhana, spontan dan menyatu dengan kehidupan rakyat. Contoh – contoh teater rakyat adalah sebagai berikut.
1) Makyong dan Mendu di daerah Riau dan Kalimantan Barat.
2) Randai dan Bakaba di Sumatera Barat.
3) Mamanda dan Berpandung di Kalimantan Selatan.
4) Arja, Topeng Prembon, dan Cepung di Bali.
5) Ubrug, Banjet, Longser, Topeng Cirebon, Tarling, dan Ketuk Tilu dari Jawa Barat.
6) Ketroprak, Srandul, Jemblung, Gataloco di Jawa Tengah.
7) Kentrung, Ludruk, Ketroprak, Topeng Dalang, Reyong, dan Jemblung di Jawa Timur (Reyong yang biasanya hanya tarian itu ternyata sering berteater juga).
8) Cekepung di Lombok.
9) Dermuluk disematera Selatan dan Sinlirik di Sulawesi Selatan.
10) Lenong, Blantek, dan Topeng Betawi di Jakarta dan sebagainya.
11) Randai di Sumatera Barat.

3.2 Teater Klasik
Sifat teater ini sudah mapan, artinya segala sesuatunya sudah teratur, dengan cerita, pelaku yang terlatih, gedung pertunjukan yang memandai dan tidak lagi menyatu dengan kehidupan rakyat (penontonnya). Lahirnya jenis teater ini dari pusat kerjaan. Sifat feodalistik tampak dalam jenis teater ini. Contoh – contohnya: Wayang Kulit, Wayang Orang, dan Wayang Golek. Ceritanya statis, tetapi memilki daya tarik berkat kreativitas dalang atau pelaku teater tersebut dalam menghidupakan lakon.

3.3 Teater Transisi
Teater transisi merupakan teater yang bersumber dari teater tradisional, tetapi gaya penajiannya sudah dipengaruhi oleh teater Barat. Jenis teater seperti Komidi Stambul, Sandiwara Dardanela, Sandiwara Srimulat, dan sebagainya merupakan contoh teater transisi. Dalam Srimulat sebagai contoh, pola ceritanya sama dengan Ludruk atau Ketoprak, tetapi jenis ceritanya diambil dari dunia modern. Musik, dekor, dan property lain menggunakan teknik Barat.

3.3.1 Abdul Muluk
Grup teater ini merupakan awal grup teater yang meninggalakan ciri – ciri tradisional, misalnya sebagai berikut.
1) Tidak lagi bersifat improvisasi, tetapi naskah sudah mulai membagi peran.
2) Tidak lagi mengandalkan segi tari dan lagu.
3) Struktur lakonnya tidak lagi statis, tetapi disesuaikan dengan perkembangan lakon atau cerita sastra.

3.3.2 Komedi Stambul
Lahir pada tahun 1891 dan didirikan oleh August Mahieu. Menampilkan lagu-lagu Melayu, maka komedi stambul disebut pula opera Melayu. Cerita yang ditunjukan sudah merupakan cerita yang bervariasi, seperti: “ 1001 Malam”, “ Nyai Dasima”, “Oey Tam Bah Sia”, “ Si Conat”, “Halmet”, “Saudager Venesia”, “Penganten Di Sorga”, “De Roos Van Serang”, “Annie Van Mendut”, “Lily van Cikampek”, dan sebagainya.

3.3.3 Dardanella
Didirikan oleh Willy Klimanoff yang kemudian mengganti namanya dengan A. Piedro. Tanggal 21 juni 1926 didirikan The Malay Opera Dardanella. Dalam teater ini, tidak lagi ada nyanyian. Lakon – lakon diambil dari Indische Roman. Pemain yang masih dikenal hingga kini, misalnya: Tan Ceng Bok, Devi Ja, Fifi Young, Pak Kuncung, dan sebagainya. Cerita yang dipentaskan dapat diklasifikasi menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut.
1) Cerita dari kisah 1001 Malam (missal:”Ali Baba”, “Aladin”, “Nur Cahaya”, “Abu Hasan”, “Nur Tuhan”, dan sebagainya),
2) Cerita dari film popular saat itu (missal:”The Merry Widow”, “The Three Musketeer”, “Zorro”, “The Son Of Zorro”, “Two Lovers”, “Dougles Fairbank”, dn sebagainya),
3) Cerita lama yang terkenal (misal: “Roses Of Zorro”, “Vera”, “Graff de Monte Cristo”),
4) Cerita yang tergolong Indische Roman (misal: “De Ross van Serang”, “Perantaian 99”, “Annie van Mendut”, “Lily van Cikampek”, dan sebagainya).

3.3.4 Maya
Timbulnya teater Maya dipengaruhi oleh saudagar-saudagar Cina yang gemar akan teater. Maya dipimpin oleh Usmar Ismail. Bersama itu, muncul pula Cahaya Timur yang dipimpin Anjar Asmara. Berkat pengaruh pendidikan barat, banyak karya asli yang dihasilkan. Maya banyak mementaskan karya-karya pengarang Indonesia . Hal ini juga berkat kemajuan dokumentasi Pusat Kebudayaan Jepang di Indonesia saat itu (Keimin Bunka Sidosho). Di samping hal tersebut, tampaknya peran sutradara sudah sangat penting. Naskah – naskah mengambil dari bumi Indonesia , meskipun masih meneladan pentas dunia Barat.

3.3.5 Cine Drama Institut
Lahir di Yogya tahun 1948 dan merupakan embrio bagi ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film) dengan pusatnya di Yogyakarta . Banyak tokoh Yogyakarta yang mengembangkan teater seperti Kirdjomuljo, Rendra, Soebagio Sastrowardojo, Dokter Hoejoeng, Harymawan, Sri Moertono, dan sebagainya. Pantas dicatat pula, bahwa di Bogor juga bangkit kegiatan teater sekitar tahun 1950-an dengan teaternya bernama Teater Bogor. Di Surabaya juga muncul binatang Surabaya Film Co, sedangkan di Jakarta muncul Akademi Teater Nasional Indonesia (1955) yang seperti halnya ASDRAFI banyak melahirkan tokoh-tokoh teater masa kini. Kemudian muncul pula studi Grup Drama Yogya Pimpinan Rendra, Federasi Teater Kota Bogor pimpinan Taufiq Ismail, Himpunan Seniman Budayawan Islam pimpinan Junan Helmy Nasution dan Taeter Muslim di Yogya Dipimpin oleh Muhamad Diponogoro.

3.4 Zaman Kemajuan Dunia Teater
Sejak tahun 1968, yaitu Rendra pulang dari Amerika dan mendirikan Bengkel Teater di Yogya, maka mulailah zaman kemajuan dunia teater. Berdirinya Taman Ismail Marzuki sebagai ajang kreativitas para seniman (termasuk juga dramawan), kiranya menambah kemajuan dunia teater. Jika Yogya adalah tempat penggembelang para calon dramawan, maka Jakarta adalah tempat di mana mereka berlaga. Tidak bisa dipungkiri, dalam hal demikian, peranan Taman Ismail Marzuki tidak sedikit. Banyak dramawan diwisuda melalui pementasan rutin disana.

1) Bengkel Teater Rendra
Grup teater ini didirikan Rendra dikampung ketanggunan Yogyakarta , pada tahun 1968. Pementasan – pementasan drama yang melakukan selalu mendapatkan sambutan hangat dari penonton. Pementasannya seolah menjadi peta teater ditanah air. Ia seorang dramawan besar. Kebesarannya terbukti dengan penghargaan dari pemerintah berupa anugerah seni tahun 1975. ia juga mendapatkan hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta, kesenian Jakarta , Karena lima tahun berturut-turut telah membina drama.
Kelebihan – kelebihan teater Rendra yang sulit dimiliki teater lainya, diantaranya adalah sebagai berikut.
a. Popularitas Rendra, ia sebagai sutradara yang baik, penyiar, aktor, dan juga penyusun naskah drama.
b. Penyutradaraan yang baik. Sebagai sutradara, Rendra dipandang sebagai salah seorang dari beberapa gelintir sutradara terbaik negeri ini.
c. Daya kreativitas Rendra cukup tinggi ia tidak menggunakan konsep yang statis dalam penyutradaraan. Pada setiap pementasan ada unsur baru.
d. Rendra adalah aktor yang baik. Dalam setiap pementasan, Rendra selalu ikut main dan bahkan menjadi pelaku utama.
e. Memilih naskah yang bermutu. Rendra sendiri pandai menerjemahkan naskah drama dari bahasa asing, maka ia dapat memilih naskah yang bermutu.
2) Teater Populer
Nama besar lain dalam dunia penyutradaraan teater, adalah Teguh Karya, dengna kelompoknya yang bernama Teater Populer HI, karena secara rutin berpentas di Hotel Indonesia, kemudian disebut Teater Populer saja. Kubunya menghasilkan nama-nama besar dalam dunia Teater dan film. Pemborong-pemborong piala citra, banyak dihasilkan dari kelompok teater popular ini. Kita kenal: Slamet Rahardjo, El Malik, Christine Hakim, N. Riantiarno, Sayanglah bahwa akhir-akhir ini teaternya teguh Karya lebih berorientasi ke film, sehingga pementasan teaternya yang sring dijadikan tolok ukur peta kemajuan teater Indonesia tidak depat kita lihat.
3) Teater Kecil
Pada masa kejayaannya, di Indonesia pernah terdapat tiga grup teater yang besar, yaitu: Bengkel Teater, Teater Populer, dan Teater kecil. Teater Kecil dipimpin oleh Arifin C. Noer. Melebihin kedua tokoh lainnya, Arifin adalah penulis naskah yang produktif. Naskahnya dipandang memiliki warna Indonesia . Penulis dari cirebon ini, sering memasukan unsur kesenian daerahnya keadalam teater yang ditulis/ dipentaskannya.
4) Teater Koma
Teater berwibawa yang akhir-akhir ini belum terjun kedunia film dalam arti sepenuhnya adalah Teater Koma yang dipimpin oleh Nano Riantiarno. Ia adalah penulis naskah drama yang kuat, dan sutradara yang potensial setelah surutnya generasi Teguh Karya, Arifin, dan “Opera Ikan Asin” dan “Opera Kecoa”, yang berbicara tentang rakyat jelatan.
5) Teater Mandiri
Hampir seluruh pementasan Teater Mandiri adalah karya pimpinannya sendiri, yaitu putu Widjaya. Darmawan dari Bali yang juga sarjana hokum dari Universitas Gadjah Mada, serta bekas anak buah Rendra ini termasuk penulis drama ulung. Drama-dramanya yang akhir-akhir ini banyak kali ditulis dan dipentaskan mendapat warna kuat dari “Menunggu Godot” yang pernah dipentaskan bersama Rendra di Bengkel Teater, yaitu kisah penantian terhadap datangnya suatu kebahagiaan yang selalu tercipta.
6) Bengkel Muda Surabaya
Grup teater pimpinan Akudiat dari Surabaya ini terkenal karena rombongan kentrungnya. Drama kentrung Akudiat tersebut hanyalah dalam arti adanya iringan kentrung dalam pementasannya. Lakonya menggingatkan kita pada bentuk Seniaman Sintingnya Majuki.
7) Teater Lain
Disamping teater – teater yang sudah disebutkan didepan, banyak teater lainya yang disebut tangguh dan menyemarakkan dunia drama di Indonesia akhir-akhir ini, antara lain: Teater Keliling (pimpinan Rudolf Puspa dan Derry Sirna); Teater Dinasti (pimpinan Emha Ainun Najib); Study Teater Bandung (pimpinan Suyatna Anirun); Teater Padang (pimpinan Wirsan Hadi); Teater Dewan Keseniana Ujung padang (pimpinan Rahmat Age), dan sebagainya.
8) Kecendrungan Mutakhir
Ada beberapa kecendrungan Mutakhir drama di Indonesia , yaitu: Drama Eksperimental seperti karya Rendra berikut ini.
a. Drama Non-Konvensional, seperti karya Akhdiat dan Putu Widjaya.
b. Drama Absurd, seperti karya-karya Iwan Simatupang dan Arifin C. Noer.
c. Eksistensialisme, seperti karya-karya Iwan Simatupang, Arifin C. Noer, dan Putu Widjaya.
d. Kehidupan Gelandangan, seperti karya Iwan Simatupang dan Arifin C. Noer.
e. Teater Lingkungan dan Warna Daerah, seperti karyaAkhudiat yang memadukan teater modern denga kentrung (Bengkel Muda Surabaya); Wirsan Hadi yang mengetegahkan ciri dari teater tradisional Minangkabau; Teater Jeprik Yogya yang memasukkan tarian ketropak dan gamelan Jawa Dalam teater lingkungan yang diekspresikan.
f. Kritik sosial, baik yang keras (seperti karya-karya Rendra). Ataupun yang halus (seperti karya-karya N. Riantiano akhir-akhir ini.)
Berikut beberapa tokoh drama Indonesia yang memiliki muatan kritik sosial dalam setiap karyanya baik kritik sosial yang keras maupun halus:
1) W. S. Rendra
Sudah sejak sebelum studi di American Academy of Dramatical Art (AADA), rendra sudah menunjukan potensinya yang besar dalam dunia teater (drama). Sepulangnya dari Amerika Serikat pada tahun 1967, potensinya dalam bidang teater lebih mantap Sekitar tahun 1968 didirikanya “Bengkel Teater” yang secara berturut-turut dan terus-menerus menghasilkan drama-drama bermutu.
2) Arifin C. Noer
Dari Arifin C. Noer kita memperoleh dua lakon yang mewakili ciri-ciri kemutakhiran, yaitu “Mega-mega” dan “Kapai-kapai”. Kedua drama ini berbicara tentang orang-orang terpencil, tersisa, atau orang papa. Akan tetapi keduanya juga berbicara tentang harapan. Bahwa dia dalam kehidupan yang papa, manusia selalu mempunyai harapan, yang datangnya dari kekuasaan di atas manusia.
3) Iwan Simatupang
Puncak absurditas kehidupan dan filsafat eksistensialisme dalam drama kiranya dapat kita hayati lewat drama Iwan Simatupang yang berjudul “ Taman ”. Tokoh-tokoh dalam drama “ Taman ” adalah manusia – manusia yang mencoba menyadari eksistensimya. Justru dengan kesadaran itu, mereka merasa bahwa kehidupan ini absurd. OT dan LSB menunjukan perdebatan konyol untuk membuktikan bahwa orang itu memiliki eksistensi yang berbeda. Demikian juga perjumpaan antara PB dengan wanita telah menghasilkan konflik karena mereka masing-masing menyadari eksistensinya.

4) Putu Widjaya
Putu Widjaya banyak mengadakan eksperimen dengan tokoh-tokoh drama yang tidak menunjukan identitas individual. Drama-dramanya disamping dengan tokoh-tokoh yang non-konvensional juga menunjukan sifat abstrak (sukar dipahami). Judul-judul dramanya begitu singkat. Misalnya: “Bom”, “Tai”, “Aduh”, “Sssst”, “Gress”, dan sebagainya. Drama-drama pintu oleh Goenawan Moehammad dinyatakan sebagai drama yang tumbuh dari penggalaman yang konkrit, artinya dalam menulis lakon-lakon itu, Putu membekali dirinya dengan pengalaman.
5) Akhudiat (Parodi dan Kentrung)
Warna daerah dihidupkan kembali lewat tangan Akhudiat dalam dramanya “Joko Tarub”. Sifat kedaerahan Joko tarub diberi bumbu penyedap supaya cocok dengan selerah masa kini. Atavisme yang muncul diberi warna baru, sehingga terjadi dekontruksionisme terhadap tokoh-tokohnya. Joko tarub dan Nawang Wulan tidak seperti yang digambarkan dalam mitos-mitos lama di jawa. Kecendrungan semacam itu kiranya banyak muncul pada dekade terakhir perkembangan drama di Indonesia.
6) Riantiarno: Penampilan Kehidupan Kumuh
Di depan penulis sering kali menyebut-nyebut nama Riantiarno sebagai dermawan besar saat ini. Ia banyak menyebutkan kehidupan kumuh. Bukan kehidupan orang gelandangan seperti karya-karya Arifin C. Noer, akan tetapi kehidupan rakyat jembel dengan problemanya dan Riantiarno mencoba menjawab problem ini. Tanpa malu-malu (dan ini dapat disebut kebangkitan teater Indonesia modern), Nano melukiskan kehidupan homoseksual dikota metropolitan antara Roima dengan Yulimi.
g. Kritik Sosial
Baik karya Rendra, Arifin, Putu, maupun Riantiarno sebenarnya menampilkan kritik sosial. Hanya saja cara mereka menyampaikan kritik itu berbeda-beda. Akan tetapi cara memandang realitas adalah sama. Mereka berpandangan bahwa dalam masyarakat masih ada kepincangan. Ketidakadilan, penghisapan manusia atas manusia penyelewengan dari mereka yang harusnya menegakkan hukum dan keadilan, dan sebagainya. Dengan menggunakan gaya , simbol, dan bahasa mereka yang khas, mereka mengiginkan agar kita semua menjadi sadar akan kekurangan-kekurangan itu, dan kalau dapat berusaha turut memperbaikinya. Bukankah karya seni merupakan kekuatan moral?
h. Eksperimen Sendiri
Jika tadinya para drawaman senantiasa berkiblat berkiblat ke barat, maka pada periode mutakhir ini mereka mencoba mengadakan eksperimen sendiri. Meskipun bentuk eksperimennya masih kurang berani karena takut dicap kembali kesifat tradisional, akan tetapi kita harus mengakui bahwa bentuk-bentuk eksperimen itu menunjukan kreativitas mereka.
Eksperimen yang cendrung berkembang adalah perpaduan antara teater modern dengan teater tradisional (seperti yang dikemukakan Akhudiat), dan juga bentuk teater abstrak. Sebenarnya hal ini perlu koreksi lagi. Sebelum mengadakan eksperimen dan membuat yang abstrak, perlu dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan membuat bentuk drama yang biasa.
i. Ali Shahab
Teater September dibawah pimpinan Ali Shahab menunjukan suatu kecendrungan dari dalam dunia teater, yaitu masuknya unsur teknologi mutakhir dalam penggarapan drama, khususnya drama televise. Cerita yang hidup dikalangan rakyat digarap secara lebih modern, dengan teknik pemotretan yang cukup mutakhir, mengahsilkan suatu tontonan drama yang menarik. Dalam hal ini, teater September memadukan unsur dramaturgi dengan teknologi bidang elektronik. Dengan eksperimen-eksperimennya, Ali Shahab mencoba menjadikan teater sebagai tontonan yang memikat, menarik dan enak ditonton, bukannya tontonan yang sarat dengan filsafat dan pikiran muluk-muluk.
j. Kecendrungan Lain
Di berbagai kota, banyak darmawan muda yang masih memiliki idealisme tinggi meneruskan kegiatan berteater meskipun secara financial tidak menjanjikan perbaikan nasib di surakarta, kehidupan taman Budaya Surakarta (TBS) dimotori oleh dramawan –dramawan musa seperti Hanindrawan, Sosiawan Leak, dan dramawan-dramawan muda dari 9 fakultas di UNS, serta dari perguruan tinggi lain di Surakarta.

BAB II
KEAKTORAN

1. Keaktoran
1.1 Persiapan Seorang Aktor
Karya seni sang aktor diciptakan melalui tubuhnya sendiri, suaranya sendiri, dan jiwanya sendiri. Hasilnya berupa peragaan cerita yang ditampilkan di depan penonton. Seorang aktor yang baik adalah seorang seniman yang mampu memanfaatkan potensi dirinya. Potensi itu dapat dirinci menjadi: potensi tubuh, potensi driya, potensi akal, potensi hati, potensi imajinasi, potensi vokal, dan potensi jiwa. Kemapuan memanfaatkan potensi diri itu tentu tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dengan giat berlatih.

1.1.1 Pemilihan Peran
Pemilihan aktor-aktris biasanya disebut casting, yaitu sebagai berikut:
1) Casting by Ability: pemilihan peran berdasar kecakapan atau kemahiran yang sama atau mendekati peran yang dibawakan. Kecerdasan seseorang memegang peranan penting dalam membawakan peran yang sulit dan dialognya panjang. Tokoh utama suatu lakon di samping persyaratan fisik dan psikologi juga dituntut memiliki kecerdasan yang cukup tinggi, sehingga daya hafal dan daya tanggap yang cukup cepat.
2) Casting to Type: pemilihan pemeran berdasarkan atas kecocokan fisik sipemaian. Tokoh tua dibawkan oleh orang tua, tokoh pedagang dibawakan oleh orang yang berjiwa dagang, dan sebagainya.
3) Anty type Casting: pemilihan pemeran bertentangan dengan watak dan ciri fisik yang dibawakan. Sering pula disebut educational casting karena bermaksud mendidik seseiorang memerankan watak dan tokoh yang berlawanan dengan wataknya sendiri dan ciri fisiknya sendiri.
4) Casting to emotional temperament: pemilihan pemeran berdasarkan observasi kehisupan pribadi calon pemeran. Meraka yang memiliki banyak kecocokan denga peran yang dibawakan dalam hal emosi dan temperamennya, akan terpilih membawakan tokoh itu. Pengalaman masa lalu dalam hal emosi akan memudahkan pemeran tersebut dalam menghayati dan menampilkan dirinya sesuai dengan tuntutan cerita. Temperamen yang cocok akan membantu proses penghayatan diri peran yang dibawakan.
5) Therapeutic Casting: pemilihan pemeran dengan maksud untuk penyembuhan terhadap ketidakseimbangan psikologis dalam diri seseorang. Biasanya watak dan temperamen pemeran bertentangan dengan tokoh yang dibawakan. Misalnya, orang yang selalu ragu-ragu, harus berperan sebagai orang yang tegas, cepat memutuskan sesuatu. Seorang yang curang, memerankan tokoh yang jujur atau penjahat berperan sebagi polisi. Jika kelaianan jiwa cukup serius, maka bimbingan khusus sutradara akan membantu proses therapeutic itu.
Untuk dapat memilih pemeran dengan tepat, maka hendaknya pelatih drama membuat daftar yang berisi inventarisasi watak pelaku yang harus dibawakan, baik secara psikologis maupun sosiologis. Watak pelaku harus dirumuskan secara jelas. Sebab hanya dengan begitu, dapat dipilih pemeran lakon dengan lebih cepat. Dalam pementasan, aktor-aktris harus ber-Akting.

2. Teknik Berperan
Berperan adalah menjadi orang lain sesuai dengan tuntutan lakon drama. Sejauh mana ketrampilan seorang aktor dalam berperan ditentukan oleh kemampuannya meninggalkan egonya sendiri dan memasuki serta mengekspresikan tokoh lain yang dibawakan.
Dalam berperan harus diperhatikan adanya hal-hal berikut ini:
1. Kreasi yang di lakukan oleh aktor atau aktris.
2. Peran yang dibawakan harus bersifat alamiah dan wajar.
3. Peran yang dibawakan harus sesuai dengan tipe, gaya, jiwa, dan tujuan dari pementasan.
4. Peran yang dibawakan harus sesuai dengan periode tertentu dan watak yang harus direpresentasikan.
Untuk berperan secara natural dan realisitis, diperlukan penghayatan untuk mendalam tentang tokoh yang diperankan itu. Dalam kaitan itu, gaya, tipe, dan jiwa permainan menentukan corak penghayatan peran.
2.1 Teknik Berperan Menurut Rendra
Rendra menyebutkan bahwa dalam pementasan ada empat sumber gaya yaitu:
a. Aktor bintang
Aktor bintang menjadi sumber gaya artinya kesuksesan pementasan ditentukan oleh pemain-pemain kuat yng mengandalkan kecantikan, kemasyhuran, ketampanan atau kecantikan atau gaya tarik seksualnya. Jika yang dijadikan sumber gaya adalah aktor bukan bintang, maka kecakapan berperan diandalkan untuk memikat penonton.
b. Sutradara
Sutradara sebagai sumber gaya artinya dengan kemampuan sutradara diharapakan pementasan akan berhasil. Penonton mengharap pertunjukkan drama yang bermutu. Dalam hal ini, penonoton mempercayakan nama sutradara sebagai jaminan mutu drama.
c. Lingkungan
Lingkungan sebagai sumber gaya artinya lingkungan pementasan dapat memungkinkan suksesnya pementasan. Jika kita mementaskan drama “Ken Arok dan Ken Dedes”, maka kehidupan pentas oleh dekorasi dan tata pentas yang menggambarkan secara nyata kerajaan Singasari dapat menjadi modal kesuksesan drama tersebut.
d. Penulis
Penulis sebagai sumber gaya berarti di tangan penulis yang hebat akan lahir naskah yang hebat pula yang mempunyai kemungkinan sukses jika dipentaskan.
Di dalam berperan, imajinasi sangat penting karena dalam berperan, seorang aktor berpura-pura menjadi orang lain. Menghadirkan kepura-puraan menjadi realitas membutuhkan daya imajinasi. Aktor harus menghayati setiap situasi yang diperankan dan mampu secara sempurna menyelami jiwa tokoh yang dibawakan serta menghidupkan jiwa tokoh itu sebagai jiwanya sendiri, sehingga penonton yakin yang ada dipentas bukan diri sang aktor tetapi diri tokoh yang diperankan. Untuk mengembangkan pribadi, diperlukan daya kreativitas (kemampuan untuk mencipta) dan sikap fleksibel (dapat menyesuaikan diri dimana saja berada).


2.2 Teknik Berperan Menurut Edward A. Wright
Menurut Edward A. Wright ada lima syarat yang harus dimiliki oleh seorang calon aktor, yaitu sebagai berikut:
a. Sensitif
Mudah memahami aktor yang akan diperankan.
b. Sensibel
Sadar akan yang baik dan yang buruk.
c. Kualitas personal yang memadai
d. Daya imajinasi yang kuat
e. Stamina fisik dan mental yang baik.
Kelima hal tersebut harus disertai lima macam daya kepekaan yaitu sebagai berikut:
a. Kepekaan (mudah mengerti) akan ekpresi mimik.
Kepekaan terhadap suasana pentas.
b. Kepekaan terhadap penonton.
c. Kepekaan terhadap suasana dan ketepatan proporsi peran yang dibawakan (tidak lebih dan tidak kurang) (Wright: 131).
Imajinasi dapat dikembangkan dengan kreasi-kreasi aktor yang sering tidak direncanakan sutradara. Pembawaan peran harus tepat agar penonton ikut terlibat dalam suasana pentas. Dalam suatu drama tidak boleh suatu masalah diterangkan secara panjang lebar sedang masalah lain tidak mendapat bagian.

2.3 Teknik Berperan Menurut Oscar Broket
Oscar Brocket menyebutkan tujuh langkah dalam latihan berakting yaitu sebagai berikut;
1. Latihan Tubuh
Maksudnya adalah latihan ekspresi secara fisik. Kita berusaha agar fisik kita agar dapat bergerak secara fleksibel, disiplin dan ekspresif. Artinya, gerak-gerik kita dapat luwes, tetapi berdisiplin terhadap peran kita, dan ekspresif sesuai watak dan perasaan aktor yang di bawakan. Di beberapa teater biasanya sering diberikan latihan dasar Akting, berupa menari, balet, senam, bahkan ada yang merasa latihan silat itu dapat juga melatih kelenturan, kedisiplinan , dan daya ekspresi jasmaniah.
2. Latihan Suara
Latihan suara ini dapat di artikan latihan mengucapkan suara secara jelas dan nyaring (vokal), dapat juga berarti latihan penjiwaan suara. Yang harus mendapatkan pelatihan seksama, adalah suara itu hendaklah jelas, nyaring, mudah ditangkap, komunikatif,dan ucapkan sesuai daerah artikulasinya.
3. Observasi dan Imajinasi
Untuk menampilkan watak tokoh yang diperankan, aktor secara sungguh-sungguh harus berusaha memahami bagaimana memanifestasikannya secara eksterna. Aktor mulai dengan belajar mengobservasikan (memahami) setiap watak, tingkah laku dan motivasi orang-orang yang dijumpainya. Kekuatan imanjinasi berfungsi untuk mengisi dimensi kejiwaan dalam Akting, setelah diadakan observasi tersebut. Akting bukan sekedar meniru apa yang diperoleh lewat observasi, tetapi harus menghidupkannya, memberi nilai estetis.
4. Latihan Konsentrasi
Konsentrasi diarahkan untuk melatih aktor dalam kemampuan membenamkan dirinya sendiri kedalam watak dan pribadi tokoh yang dibawakan dan ke dalam lakon itu. Konsentrasi haru spula diekspresikan melalui ucapan, gesture, meovement, dan intonasi ucapannya.
5. Latihan Teknik
Latihan teknik di sini adalah latihan masuk, memberi isi, memberi tekanan, mengembangkan permainan, penonjolan, ritme, timing yang tepat, dan hal lain yang telah dibicarakan dalam penyutradaraan. Pengaturan tempat di pentas sesuai dengan karakteristik dan masing-masing bagian pentas itu, juga merupakan unsur teknis yang harus menadapatkan perhatian dalam latihan. keseimbangan di dalam pentas merupakan dress stage (pakain yang dipakai di panggung). Pergeseran aktor lain di sisi berikutnya, sehingga terjadi keseimbangan, hal itu berhubungan dengan latihan blocking, dan crossing. Aktor juga harus berusaha mengambil posisi sedemikian rupa, sehingga ekspresi wajahnhya dan gerak-gerik yang mengandung makna dapat dihayati oleh penonton. Hal kecil yang perlu mendapat perhatian juga adalah teknik jalan, teknik loncat, makan, duduk, mempersilahkan minuum dan sebagainya harus disesuaikan dengan pribadi yang dibawakan dalam cerita.
6. Latihan Sistem Akting
Aktor harus berlatih Akting, baik dalam hal eksternal maupun internal melalui pendekatan metode, maupun teknik.
7. Latihan untuk Memperlancar Skill dan Latihan
Dalam latihan ini peranan imajinasi sangatlah penting. Dengan imajinasi, semua latihan yang bersifat seperti menghafal, menjadi lancar dan tampak seperti kejadian sebenarnya.
Whitting menyatakan, bahwa dalam latihan Akting ini ada dua pendekatan yaitu pendekatan kreaktif dan pendekatan teknis. Pendekatan kreatif ini sama dengan pendekatan metode yang dikemukakan oleh Wright, tadi (Whitting: 1960:197). Latihan teknis meliputi penonjolan, latihan tubuh, latihan suara, latihan penggunaan pentas secara tepat, latihan penyingkatan dan eliminasi.

2.4 Constantin Stanislavsky
Tokoh yang dikenal sebagai pelopor pendekatan metode atau pendekatan kreatif yang mementingkan latihan sukma, memberikan pedoman untuk mempersiapkan seorang aktor (Stanislavsky, 1980). 15 tahap latihan yang harus dilalui:
a. Berperan (Akting) adalah Suatu Seni
Dalam berperan, aktor harus menyadari bahwa berperan merupakan ekspresi seni. Berperan adalah seni, maka harus memenuhi aturan aliran seni yang diikuti, harus menurut aturan seni teater, dan dimainkan dalam penghayatan total antara jasmani dan rohani. Keseimbangan yang dituntut dan dengan begitu over Akting dan segala yang over harus ditinggalkan.
b. Motivasi
Motivasi merupakan faktor “dalam” yang harus dimiliki oleh seorang aktor. Motivasi yang harus dimiliki yaitu motivasi estetis, dimana dirinya mengabdi pada pentas, bukan demi publisitas dirinya, semua gerak perbuatan itu selalu mempunyai motivasi, yaitu motivasi dari gerakan sebelumnya dan motivasi untuk gerakan berikutnya.



c. Imajinasi
Kepekaan imajinasi untuk aktor perlu dilatih. Dengan imajinasi perasaan dan pengalaman emosional mudah terukir dan tertanam dengan kuat dalam ingatan visual kita dan dapat dibayangkan setiap saat.
d. Pemusatan Pikiran (Konsentrasi)
Pusat perhatian aktor bukan ditempat penonton, tetapi pada lakon yang dibawakan. Objek-objek perhatian, harus dipilah-pilah, ada yang merupakan titik cahaya dalam lingkaran perhatian. Reaksi emosi dan imajinasi dapat membantu proses konsentrasi ini.
e. Mengendurkan Urat
Urat kita harus fleksibel serta siap diperintah melakukan gerakan dan Akting sesuai dengan peranannya. Gerakan lentur, fleksibel, indah tetapi rapi dan menawan, dapat dicapai melalui berbagai latihan fisik seperti yang dijelaskan didepan.
f. Satuan dan Sasaran
Ikatan organik dialur lakon, satuan lakon yang merupakan garis besar alur yang memaparkan juga perkembangan konflik, harus dihayati secara baik, untuk kemudian diuraiakan dalam detail. Kemudian ditentukan sasaran akting sang aktor yang seharusnya.
1. Ditujukan kepada lawan main.
2. Merupakan sasaran pribadi yang analog dengan watak yang kita gambarkan.
3. kreatif dan artistik.
4. harus benar sehingga meyakinkan.
5. Menarik dan mengharukan kita
6. Jelas dan tipikal.
7. Harus punya nilai dan isi yang dapat berhubungan dengan sosok dalam dari
permainan kita.
8. Harus aktif, mendorong untuk maju.
g. Keyakinan dan Rasa Kebenaran
Yang kita perlukan adalah kebenaran yang dipindahkan menjadi sebuah padanan puitis berkat imajinasi kreatif. Semua tindakan harus mempunyai makna dan dengan begitu ada gerak yakin.


h. Ingatan Emosi
Untuk dapat disampaikan semua emosi dengan baik, aktor harus berusaha untuk menghayati kembali apa yang pernah dirasakan dalam kehidupan nyata, sesuai dengan perasaan yang dikehendaki. Jika sulit menghadirkan kembali emosi yang dikehendaki maka dengan bantuan suara yang berkesan atas peristiwa dulu, kiranya emosi yang sama akan hadir. Misalanya, seorang gadis yang pernah patah hati, sangat terkesan akan lagu “seruling senja”. Jika kedukaan yang sama sulit ditampilkan, maka dengan bantuan lagu “seruling senja” niscahaya emosi tersebut akan lebih mudah ditampilkan. Demikian pula gambar, pemandangan alam, melalui surat, suasana tertentu orang akan mampu merekonstruksi suasana batinnya.
Indera pencium, pengecap, dan penyentuh juga bermanfaat untuk mempenggaruhi ingatan emosi, seperti halnya indera pendengar dan penglihat. Aktor harus menggunakan perasaanya sendiri, sehingga jiwanya sendiri bergetar hidup, manusiawi, hal-hal yang dapat meyakinkan penonton. Ingatan emosi dapat diolah melalui kreativitas batin, menjadi bentuk perwujutan Akting yang penuh penjiwaan.
i. Komunikasi atau Hubungan Batin
Aktor harus menghidupkan komunikasi dengan diri sendiri, dengan aktor lain, dan juga secara batin dengan penonton. Komunikasi langsung adalah dengan diri sendiri dan aktor lain, sedang komunikasi tidak langsung adalah dengan penonton. Aktor juga harus berkomunikasi dengan objek imajiner atau yang tidak hadir secra nyata (misalnya waktu berdoa secara keras).
j. Adaptasi
Penyesuaian diri itu dapat dilakukan dengan sadar dan dapat dengan tidak sadar. Sumber penyesuaian diri adalah alam bawah sadar, yang datang jika ilham datang. Di panggung penyesuaian diri ini bersifat terus-menerus, sebab aktor berkomunikasi dan menjadi orang lain terus menerus. Adapun adaptasi mekanis dan motoris melalui latihan dan penuh kesadaran.
k. Kekuatan Motif Dalam
Kekuatan inner motive harus mendapat latihan dalam diri aktor modalnya adalah kemauan. Kemauan harus dipadu dengan dua unsur penggerak lain, yaitu pikiran dan perasaan. Pikiran, emosi, dan perasaan ynag merupakan inner motivation harus dibangkitkan secara alamiah yang juga dimanfaatkan untuk membangkitkan unsur-unsur kreatif yang lain.
l. Garis yang Tak Terputus-putus
Garis batin tidak boleh terputus, karena garis itulah yang memberikan nyawa dan gerak pada drama yang dipertunjukkan. Sekuen satu dengan sekuen lain harus merupakan suatu yang berkesinambungan, dan selalu menampilkan pusat perhatian.
m. Keadaan Kreatif Batiniah
Dalam menghayati watak peran dan melaksanakan tugas Akting selama pementasan berlangsung diperlukan keadaan batin yang kreatif, artinya selalu mengisi kekosongan yang ada dengan suatu tindakan yang beralasan (penuh keyakinan).
n. Sasaran yang Paling Utama
Aktor harus mampu menangkap dan mengekspresikan sasaran utam dari dialog da perbuatan yang dilakukan dalam setting yang dibawakan. Hendaknya aktor mampu mengendalikan tiga ciri penting dalam proses kreatif, yaitu: (1) pemahaman atau genggaman batin, (2) garis gerak yang lurus, dan (3) sasaran utama. Aktor harus mengerti apa tujuan kehadirannya di pentas, apa tugas utamanya terhadap lakon dan tidak melebihi porsi yang ditentukan, menuju titik sasaran yang mantap, ringan, wajar dan jelas.
o. Diambang Pintu Bawah Sadar
Dalam semua aktivitas kreatif, semua yang maya ini, diberi sentuhan kenyataan. Jika aktor terbenam luluh dalam dunianya di pentas, terlibat sepenuhnya (encounter) dengan dunia maya yang dihayati sebagai realitas baru maka ia akan terlebih memikat penonton. Dengan cara meluluhkan diri dalam peran, semua yang diucapkan dan diperbuat akan meyakinkan penonton.

2.5 Richard Boleslavsky
Richard Boleslavsky tokoh yang dikenal sebagai murid Stanislavsky mengembangkan teori Stanislavsky. Buku karangannya sangat terkenal dengan judul Enam Pelajaran Pertama Bagi Calon Aktor yaitu;
1. Pelajaran Pertama : Konsentrasi
Konsentrasi bertujuan agar aktor dapat mengubah diri menjadi orang lain, yaitu peran yang dibawakan. Untuk mampu berkonsentrasi, aktor harus berlatih memusatkan perhatian, mulai dari lingkaran yang besar, menyempit, kemudian membesar lagi. Kendatipun latihan dilakukan di tempat yang ramai oleh suara hiruk pikuk orang jika konsentrasi kuat lakon akan tetap berjalan. Latihan konsentrasi ini juga dapat dilaksanakan melalui latihan fisik (seperti yoga), latihan intelek atau kebudayaan (misalnya menghayai musik, puisi, seni lukis), dan latihan sukma (melatih kepekaan sukma menanggapi segala macam situasi).
2. Pelajaran Kedua: Ingatan Emosi
The transfer of emotion adalah merupakan cara yang efektif untuk menghayati suasana emosi peran secara hidup, wajar dan nyata. Jika pelaku harus bersedih, dengan suatu kadar kesedihan tertentu dan mengahdirkan emosi yang serupa, maka kadar kesedihanitu takarannya tidak akan berlebihan, sehingga tidak terjadi over Akting.
3. Pelajaran Ketiga: Laku Dramatis
Berlaku dramatis artinya bertingkah laku dan berbicara bukan sebagai dirinya sendiri, tetapi sebagai pemeran. Untuk itu memang diperlukan penghayatan terhadap tokoh itu secara mendalam, sehingga dapat diadakan adaptasi.
4. Pelajaran Keempat: Pembangunan Watak
Aktor harus membangun wataknya, sehingga sesuai dengan tuntutan lakon. Pembangunan watak iu didahului dengan menelaah struktur fisik, kemudian mengidentifikasikannya, dan menghidupkan watak itu seperti halnya wataknya sendiri.
5. Pelajaran Kelima: Observasi
Observasi untuk tokoh yang sama dengan peran yang dibawakan. Untuk memerankan tokoh pengemis dengan baik, perlu mengadakan observasi terhadap pengemis dengan ciri fisik, psikis, dan sosial yang sesuai. Latihan observasi dapat juga dilakukan dengan jalan melakukan sesuatu yang pernah dilihat dengan pura-pura. Misalnya: adegan membuka pintu (pintu tidak ada).
6. Pelajaran Keenam: Irama
Sentuhan terakhir dalam sebuah latihan drama adalah pengaturan irama perminan ini. Sedangkan irama permainan untuk setiap aktor, diwujudkan dalam panjang pendek, keras lemah, tinggi rendahnya dialog, serta variasi gerakan, sehubungan dengan timing, penonjolan bagaian, pemberian isi, progresi dan pemberian variasi pentas.


BAB V/BAB III
SENI PERAN
Drama merupakan potret suka-duka, pahit-manis, hitam-putih kehidupan manusia, dalam kaitannya terhadap seni peran (akting), aktor merupakan ujung tombak dari sebuah pementasa drama. Itu kenapa, Nano Riantiarno berpendapat, hakikat seni peran adalah meyakinkan (Riantiarno, 2003:45). Jika aktor mampu meyakinkan penonton, bahwa apa yang diperankannya di atas panggung adalah tiruan dari kehidupan sebenarnya, maka sang aktor dapat dikatakan seorang aktor yang berhasil.
Untuk mencapai keberhasilan dalam berakting, seorang aktor tentulah harus melakukan tahap latihan panjang dan terarah. Kejernihan akting seorang aktor tak cukup dilihat dari sisi dialog yang ia ujarkan di atas panggung, tetapi juga gerak yang baik pula. Semua latihan yang ditempuh haruslah memiliki dasar yang jelas (teori) dan bakat.

1. Unsur-Unsur Akting
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa kemapanan akting seorang aktor tidak hanya dilihat dari kemampuannya mengolah dialog saja, melainkan caranya memaksimalkan potensi diri. Potensi itu dapat dibagi sebagai berikut: potensi tubuh, akal, hati, imajenasi, vocal, dan jiwa. Kemampuannya memanfaatkan diri tentu tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus melalui proses latihan yang giat dan telaten.
Berdasarkan konsepsi keaktoran, jika seseorang ingin menjadi seorang aktor yang baik, maka ia harus mampu mengenal dan memerhatikan unsur-unsur akting yang meliputi: (1) tubuh,(2) suara, (3) jiwa, dan (4) sukma. Berikut penjelasan dari keempat unsur tersebut:

1.1 Tubuh
Dalam dunia seni peran, tubuh adalah bagian terpenting selain dialog. Setiap anggota tubuh seorang aktor dapat dijadikan senjata aktor dalam berakting. Dalam drama konvensional yang didominasi oleh bahasa verbal, gerakan tubuh mampu memberikan nuansa lebih dalam pengungkapan maksud dari bahasa verbal yang hendak disampaikan aktor. Selain itu, tubuh dapat mengisyaratkan suasana emosional dan latar peristiwa lebih tegas dari bahasa verbal.
Bahasa geerakan tubuh (bahasa tubuh), terkadang lebih jujur dari bahasa verbal yang digunakan aktor. Oleh karenanya, seorang aktor harus mampu mengolah fungsi tubuhnya sendiri dengan melakukan beberapa tahapan. Tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk memaksimalkan tubuh seorang aktor di atas panggung antara lain sebagai berikut.
1) Relaksasi
Realaksasi adalah hal pertama yang haru dilakukan dengan cara menerima keberadaan dirinya. Relaksasi bukan berarti berada dalam keadaan pasif (santai) tetapi keadaan dimana semua kekangan yang ada di tubuh terlepas.
Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh aktor adalah kebutuhan untuk relaksasi. Baik itu di dalam kelas, dalam latihan, di atas panggung, maupun paska produksi. Relaksasi adalah hal yang sangat penting bagi semua performer. Relaksasi bukanlah keadaan menta dan fisik yang tidak aktif, melainkan keadaan potensi yang cukup aktif dan positif. Ini memungkinkan seorang aktor untuk mengekspresikan dirinya saat masih didalam kontrol faktor-faktor lain yang bekerja melawan cara pemeranan karakter yang baik. Jadi, relaksasi adalah hal yang penting dalam upaya mencapai tujuan utama dari seorang performer.
Segala sesuatu yang mengalihkan perhatian ataupun yang mencampuri konsentrasi seorang aktor atas sebuah karakter, cenderung dapat merusak relaksasi. Aktor pemula biasanya tidak dapat dengan mudah merespons sebuah perintah untuk relak, hal ini disebabkan berkaitan dengan aspek-aspek fisik kepekaan dan emosi akting ketika berada dihadapan penonton. Dengan kata lain, dalam keadaan rileks, aktor akan menunggu dengan tenang dan sadar dalam mengambil tempat dan melakukan akting. Untuk mencapai relaksasi atau mencapai kondisi kontrol mental maupun fisik diatas panggung, konsentrasi adalah tujuan utama. Ada korelasi yang sangat dekat antara pikiran dan tubuh. Seorang aktor harus dapat mengontrol tubuhnya setiap saat dengan pengertian atas tubuh dan alasan bagi perilakunya. Langkah awal untuk menjadi seorang aktor yang cakap adalah sadar dan mampu menggunakan tubuhnya dengan efisien.
2) Ekspresi
Kemampuan Ekspresi merupakan pelajaran pertama untuk seorang aktor, dimana ia berusaha untuk mengenal dirinya sendiri. Si aktor akan berusaha meraih ke dalam dirinya dan menciptakan perasaan-perasaan yang dimilikinya, agar mencapai kepekaan respons terhadap segala sesuatu. Kemampuan ekspresi menuntut teknik-teknik penguasaan tubuh seperti relaksasi, konsentrasi, kepekaan, kreativitas dan kepunahan diri (pikiran-perasaan-tubuh yang seimbang) seorang aktor harus terpusat pada pikirannya.
Kita menggunakan cara-cara non linguistik ini untuk mengekspresikan ide-ide sebagai pendukung berbicara. Tangisan, infleksi nada, gesture, adalah cara-cara berkomunikasi yang lebih universal dari pada bahasa yang kita mengerti. Bahkan cukup universal untuk disampaikan kepada binatang sekalipun.
3) Gesture
Gesture adalah impuls (rangsangan), perasaan atau reaksi yang menimbulkan energi dari dalam diri yang selanjutnya mengalir keluar, mencapai dunia luar dalam bentuk yang bermacam-macam; ketetapan tubuh, gerak, postur dan infleksi (perubahan nada suara, bisa mungkin keluar dalam bentuk kata-kata atau bunyi).
4) Gestikulasi
Bahasa tubuh adalah media komunikasi antar manusia yang menggunakan isyarat tubuh, postur, posisi dan perangkat inderanya. Dalam media ini, kita akan memahami bahasa universal tubuh manusia dalam aksi maupun reaksi di kehidupan sehari-hari.
5) Mimik
Perangkat wajah dan sekitarnya, menjadi titik sentral yang akan dilatih. Dalam olah mimik ini, kita akan memaksimalkan delikan mata, kerutan dahi, gerakan mulut, pipi, rahang, leher kepala, secara berkesinambungan.
Mimik merupakan sebuah ekspresi, dan mata merupakan pusat ekspresi. Perasaan marah, cinta, dan lain-lain akan terpancar lewat mata. Ekspresi sangatlah menentukan permainan seorang aktor. Meskipun bermacam gerakan sudah bagus, suara telah jadi jaminan, dan diksi pun kena, akan kurang meyakinkan ketika ekspresi matanya kosong dan berimbas pada dialog yang akan kurang meyakinkan penonton, sehingga permainannya akan terasa hambar.
6) Olah Tubuh
Warming-Up atau pemanasan sebaiknya menjadi dasar dalam pelajaran acting. Melatih kelenturan tubuh, memulai dari organ yang paling atas, hingga yang paling bawah. Latihan ini ditempuh untuk mencapai kesiapan secara fisik, sebelum menghadapi latihan-latihan lainnya.
Olah tubuh bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan pada balet, namun kalau di Indonesia sangat mungkin berangkat dari pencak silat atau tari daerahnya masing-masing seperti kebanyakan aktor cirebon dengan masres (sejenis teater tradisional cirebon) yang banyak menguasai tari topengnya, juga tentu di Bali, Sunda dan banyak tempat yang berangkat dari tradisinya dan kemudian dikembangkan pada tujuan pemeranan.
Bowskill daalam bukunya menyatakan “Stage and Stage Craft”, yang katanya Apa yang kau lakukan dengan kedua tanganku. Pertanyaan tersebut dilanjutkannya pula dengan Apa yang harus aku lakukan dengan kedua kakiku. Banyak aktor pemula selalu gagal dalam menampilkan segi kesempurnaan Artistik, karena pada waktu puncak klimaks selalu diserang oleh kekakuan, mengalami ketegangan urat.
Kekejangan ini memberikan pengaruh buruk pada emosi bagi pemeran yang sedang menghayati perannya, apabila hal ini menimpa organ suara maka seorang yang mampunyai suara baik menjadi parau bahkan bisa kehilangan suara, jika kekejangan itu menyerang kaki maka orang itu berjalan seakan lumpuh, jika menimpa tangannya akan menjadi kaku.
Untuk mengendurkan ketegangan urat ada bermacam cara latihan, dengan melalui latihan gerak, senam, tari-tari. Hingga gerakkan dapat tercipta dengan gerakan artistic, dan dapat lahir dari inter akting (gerakan dalam).
Olah tubuh sebaiknya dilakukan sau jam setengah setiap hari, dalam dua tahun terus menerus, untuk memperoleh aktor yang enak dipandang mata, subjeknya: Senam irama; Tari Klasik, Main anggar, berbagai jenis latihan bernapas, latihan menempatkan suara diksi, bernyanyi, pantomim, tata rias.

1.2 Suara
Penguasaan suara dalam seni acting pada dasarnya adalah penguasaan diri secara utuh, karena kedudukan suara dalam hal ini hanyalah merupakan salah satu alat ekspresi dan totalitas diri kita sebagai seorang pemain (aktor). Pengertian ‘penguasaan diti secara utuh’ menuntut suatu keseimbangan seluruh aspek serta alat-alatnya, baik yang menyangkut kegiatan indrawi, perasaan, pikiran atau yang bisa disebut segi-segi dalam dari seni acting, maupun yang menyangkut segi-segi luarnya seperti tubuh dan suara. Ketimpangan akan menghasilkan ketimpangan.
1) Pernapasan Diafragma
Otot-otot akan berkembang dan menegang ketika kita menghisap napas, hanya bagian inilah yang tegang. Kemudian otot-otot samping bagian punggung pun ikut pula mengembang lalu mengempis saat napas dihembuskan kembali.
Posisi diafragma adalah diantara rongga dada dan rongga perut. Pernapasan melalui diafragma inilah yang dirasakan paling menguntukan dalam berolah vocal, sebab tidak mengakibatkan ketegangan pada peralatan pernapasandan peralatan suara dan juga mempunyai cukup daya untuk pembentukan volume suara. Keuntungan lain yang diperoleh adalah pada saat ita menahan napas otot-otot diafragma tersebut tegang, ketegangan otot ini justru melindungi bagian lemah badan kita yakni ulu hati. Pernapasan ini sangat baik dalam usaha menghimpun “tanaga dalam” yang mengolah vibrasi, karena pernapasan diafragma akan memudahkan kita dalam mengendalikan dan mengatur penggunaan pernapasan.
Berlatih pernapasan banyak ragam dan caranya. Latihan pernapasan bisa dilakukan dengan berbagai cara, dari cabang-cabang beladiri seperti pencak silat, karate, atau berenang sekalipun. Namun ada beberapa catatan penting yang harus dilakukan untuk tujuan pernapasan dalam pemeranan (acting), yaitu:
Latihan 1.
• Berbaring rata di lantai dan bernapaslah pada posisi tersebut, rasakan tubuh betul-betul rileks.
• Berbaring dilantai, rasakan daya beratnya, pusatkan pikiran kea rah telapak kaki kita, ke ujung-ujung jari, rasakan seluruh pergelangan kaki terlepas. Bayangkan seluruh nadi terisi udara, engsel-engsel lututpun terisi udara biarkanlah tulang paha kita rileks sehingga daging dan otot-otot menjadi satu dengan tulang-tulang. Bayangkan sendi-sendi pinggang dan tuang paha berisi udara sehingga seluruh tubuh tidak lagi memberatkan kaki. Biarkan otot punggung dan perut kita meleleh seperti air, biarkan punggung rileks dan tidak usah memaksakan tulang punggung menjadi rata, biarkan otot-otot seluruh tubuh dan kepala sampai rahang di samping telinga kita rileks hingga gigi kita tidak terkunci juga lidah tidaklah lengket pada bagian atas mulut, rahang menjadi seperti jatuh demikian juga dengan lidah yang tidak saling menyentuh. Biarkan wajah kita terasa berat pada tulang tulang wajah, biarkan pipi, bibir, pelupuk mata seluruhnya rileks.
• Rasakan tubuh kita di lantai melorot rileks tariklah napas secara penuh untuk merasakan sensasi-sensasi yang terjadi pada tubuh kita saat di lantai akibat pernapasan yang alami itu. Ulangi itu terus menerus dengan intens.
Latihan 2
• Waspadai bahwa ditengah kediaman tubuh kita yang rileks itu akan tidak terelakan

Bottom of Form