FOTO PECINTA ALAM SMK N 1 SEKAYU





Awal Mula Sejarah Jembatan Ampera dan Keistimewaannya


Sejarah Jembatan Ampera – Jembatan Ampera terletak di Provinsi Sumatera Selatan tepatnya di tengah-tengah Kota Palembang yang menghubungkan daerah Seberang ulu dan seberang ilir dan dipisahkan oleh sungai musi. Jembatan Ampera mempunyai panjang 1.117 meter (bagian tengah 71,90 m), lebar 22 m, tinggi 11,5 m (dari permukaan air) dan tinggi menara 63 m (dari permukaan tanah) sedangkan jarat antara menara adalah 75 dan mempunyai berat 944 ton. Awal mula sejarah jembatan ampera, pada awalnya jembatan ini bernama Jembatan Bung Karno, sebagai bentuk penghargaan kepada presiden RI pertama itu (Bung Karno)

Sejarah Jembatan Ampera
Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang ”Seberang Ulu dan Seberang Ilir” dengan jembatan, sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat jabatan Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi.

Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan kala itu, disebut Jembatan Musi dengan merujuk na-ma Sungai Musi yang dilintasinya, pada sidang pleno yang berlangsung pada 29 Oktober 1956. Usulan ini sebetulnya tergolong nekat sebab anggaran yang ada di Kota Palembang yang akan dijadikan modal awal hanya sekitar Rp 30.000,00. Pada tahun 1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatera Selatan, H.A. Bastari. Pendampingnya, Walikota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya. Tim ini melakukan pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu.

Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kota Palembang, yang didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00).

Pembangunan jembatan ini dimulai pada bulan April 1962, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.

Pada awalnya, jembatan ini, dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.

Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang di Asia tenggara. Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).

Sekitar tahun 2002, ada wacana untuk mengembalikan nama Bung Karno sebagai nama Jembatan Ampera ini. Tapi usulan ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan sebagian masyarakat.

Keistimewaan Jembatan Ampera
Pada awalnya, bagian tengah badan jembatan ini bisa diangkat ke atas agar tiang kapal yang lewat dibawahnya tidak tersangkut badan jembatan. Bagian tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Kecepatan pengangkatannya sekitar 10 meter per menit dengan total waktu yang diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan selama 30 menit.

Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah Jembatan Ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai.

Sejak tahun 1970, aktivitas turun naik bagian tengah jembatan ini sudah tidak dilakukan lagi. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini dianggap mengganggu arus lalu lintas di atasnya.

Pada tahun 1990, kedua bandul pemberat di menara jembatan ini diturunkan untuk menghindari jatuhnya kedua beban pemberat ini.

Awal Mula Sejarah Kota Palembang




Sejarah Kota Palembang – Kota yang terkenal dengan pempeknya ini, dalam catatan sejarah ternyata merupakan kota tertua di Indonesia, hal ini didasarkan pada prasasti Kedukan Bukit (683 M) yang diketemukan di Bukit Siguntang, sebelah barat Kota Palembang, yang menyatakan pembentukan sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota yang merupakan ibukota Kerajaan Sriwijaya pada tanggal 16 Juni 683 Masehi (tanggal 5 bulan Ashada tahun 605 syaka). Maka tanggal tersebut dijadikan patokan hari lahir Kota Palembang. Selain itu kota palembang juga dipercaya orang melayu sebagai tanaha leluhurnya, karena di kota palembang ini awal mula raja melayu pertama yaitu Parameswara yang turun dari Bukit Siguntang. Berikut adalah sejarah awal mula kota palembang, dan tetap seperti biasa, sejarah kota palembang ini awalmula.com kutip dari berbagai sumber.

Batu Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh Controleur Batenberg di tepi sungai Kedukan Bukit, yakni diantara Bukit Seguntang dengan Situs Karanganyar pada tahun 1926 dengan menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu kuno. Prasasti tersebut oleh penduduk kampung Kedukan Bukit waktu itu dijadikan semacam tumbal bila akan mengikuti lomba Bidar, yakni dengan cara meletakkan di haluan Bidar yang akan diperlombakan. Konon, Bidar atau Perahu yang digentoli dengan batu “sakti-bertuah” itu senantiasa menang berlomba. Kemudian Batu-bersurat Kedukan Bukit itu ditelaah oleh para pakar sejarah dan kebudayaan, diantaranya Prof. M. Yamin yang menyatakan, itulah proklamasi (penggalian/pemindahan) ibukota Sriwijaya (dari tempat lain) ke Bukit Seguntang.

Prasasti Kedukan Bukit itu berbunyi sebagai berikut:
(1) Swasti cri cakawarsatita 605 ekadaci cu (2) klapaksa wulan waicakha dapunta hiyang nayik di (3) samwau manalap siddhayatra disaptami cuklapaksa (4) wulan jyesta dapunta hiyang marlapas dari Minanga (5) Tamvan mamawa yam wala dualaksa danan koca (6) duaratus cara di samwau danan jalan sariwu (7) tluratus sapulu dua wannakna datam di Mukha Upang (8) Sukhacitta di pancami cuklapaksa wulan (9) laghu mudita datam marwuat wanua (10) Criwijava siddhayatra subhiksa.

[Bacaan Prof. Poerbacaraka, G. Coedes, Prof. Dr. Ph.S. Van Ronkel Dr. Buchari, Prof. Slametmulyana]

Kota Palembang juga dipercayai oleh masyarakat melayu sebagai tanah leluhurnya. Karena di kota inilah tempat turunnya cikal bakal raja Melayu pertama yaitu Parameswara yang turun dari Bukit Siguntang. Kemudian Parameswa meninggalkan Palembang bersama Sang Nila Utama pergi ke Tumasik dan diberinyalah nama Singapura kepada Tumasik. Sewaktu pasukan Majapahit dari Jawa akan menyerang Singapura, Parameswara bersama pengikutnya pindah ke Malaka disemenanjung Malaysia dan mendirikan Kerajaan Malaka. Beberapa keturunannya juga membuka negeri baru di daerah Pattani dan Narathiwat (sekarang wilayah Thailand bagian selatan). Setelah terjadinya kontak dengan para pedagang dan orang-orang Gujarat dan Persia di Malaka, maka Parameswara masuk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Iskandar Syah.

Berbicara mengenai asal usul kota Palembang, memang tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan kerajaan Sriwijaya, yang pernah menjadikan kota Palembang sebagai ibukotanya. Kejayaan Sriwijaya seolah-olah diturunkan kepada Kesultanan Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai kesultanan yang disegani dikawasan Nusantara. Palembang pernah berfungsi sebagai pusat kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 (tahun 683 Masehi) hingga sekitar abad ke-12 di bawah Wangsa Sailendra/Turunan Dapunta Salendra dengan Bala Putra Dewa sebagai Raja Pertama. Pada abad ke-17 kota Palembang menjadi ibukota Kesultanan Palembang Darussalam yang diproklamirkan oleh Pangeran Ratu Kimas Hindi Sri Susuhanan Abdurrahman Candiwalang Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (atau lebih dikenal Kimas Hindi/Kimas Cinde) sebagai sultan pertama (1643-1651), terlepas dari pengaruh kerajaan Mataram (Jawa). Tanggal 7 Oktober 1823 Kesultanan Palembang dihapuskan oleh penjajah Belanda dan kota Palembang dijadikan Komisariat di bawah Pemerintahan Hindia Belanda (kontrak terhitung 18 Agustus 1823), dengan Commisaris Sevenhoven sebagai pejabat Pemerintah Belanda pertama. Kemudian kota Palembang dijadikan Gameente/haminte berdasarkan stbld. No. 126 tahun 1906 tanggal 1 April 1906 hingga masuknya Jepang tanggal 16 Februari 1942. Palembang Syi yang dipimpin Syi-co (Walikota) berlangsung dari tahun 1942 hingga kemerdekaan RI. Berdasarkan keputusan Gubernur Kdh. Tk. I Sumatera Selatan No. 103 tahun 1945, Palembang dijadikan Kota Kelas A. Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 948, Palembang dijadikan Kota Besar. Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965, Palembang dijadikan Kotamadya. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tanggal 23 Juli 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Palembang dijadikan Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang.

Legenda Asal Mula Lomba Bidar



Lomba bidar adalah lomba mendayung perahu yang dinamai ‘bidar’. Seni dayung tradisional Palembang ini hidup sejak zaman dahulu kala hingga sekarang. Pada perayaan hari besar, terutama Hari Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus, lomba bidar dilangsungkan di Sungai Musi yang mengalir di tengah-tengah kota Palembang. Perahu bidar berbentuk khusus.

Bidar adalah singkatan dari biduk lancar. Sejenis biduk (perahu) yang zaman dahulu kala khusus digunakan oleh petugas penghubung atau kurir. Bentuknya kecil dan hanya muat untuk seorang. Akan tetapi, pada perlombaan sekarang, satu perahu didayung oleh belasan orang.

Menurut cerita, lomba bidar bermula dari peristiwa Putri Dayang Merindu. Seorang gadis cantik jelita tinggal di bagian hulu kota Palembang. Anak tunggal, ayahnya bernama Sah Denar, bersahabat dengan Tua Adil, teman sekampung keluarga kaya raya yang mempunyai anak pria bernama Dewa Jaya. Beranjak remaja, Dewa Jaya dikirim orang tuanya ke beberapa negeri lain untuk menuntut ilmu bela diri, terutama pencak silat.

Bertahun-tahun menuntut ilmu, ketika kembali dia sudah jadi pemuda remaja yang tampan. Ia sangat kagum dan jatuh cinta pada dayang merindu, yang sejak kecil menjadi teman bermainnya. Dewa Jaya minta agar orang tuanya melamar. Sah Denar dan istrinya senang mendengar hasrat melamar itu.

Ketika suami istri menanyai anak mereka, Dayang Merindu dengan lembut menjawab:
“Mohon ampunan pada Ayah dan Bunda. Belum tersirat rasa cinta di hati saya terhadapnya. Oleh karena itu, saya belum mau mengatakan bersedia jadi istrinya. Namun, jika Ayah dan Bunda memaksa, saya tidak akan durhaka pada orang tua.” Sah Denar dan istrinya berpendapat, mungkin karena Dayang Merindu baru berusia sembilan belas tahun, belum ada hasrat bercintaan dengan pemuda. Ketika keluarga Tua Adil datang melamar, mereka menerima lamaran itu dengan ikatan pertunangan.

Sementara itu, di sebuah kampung di hilir kota Palembang, ada seorang pemuda bernama Kemala Negara, anak keluarga petani di tepi Sungai Musi. Selama merantau mencari nafkah ke negeri lain, dia banyak belajar ilmu bela diri. Pada suatu hari, Kemala Negara sedang mandi bersama teman-temannya di Sungai Musi. Mereka melihat sebuah cawan tembaga kecil hanyut terapung dari hulu. Kemala Negara berenang ke tengah sungai mengambilnya.
“Biasanya cawan dan bunga serta minyak yang wangi seperti ini adalah bahan keramas cuci rambut wanita,” kata Kemala Negara. Temannya sependapat dan ada yang mengatakan, pastilah benda keramas itu milik wanita kaya raya, bangsawan.
“Benar. Apa gerangan sebabnya benda seanggun dan semahal ini bisa hanyut? Mungkin ada pria jahat yang mengganggu wanita yang sedang keramas itu. Kita harus berusaha mengembalikannya,” ujar Kemala Negara. Temannya berkata:
“Benar. Carilah siapa pemiliknya, Kemala! Mana tahu nasib baik, pemiliknya masih gadis dan cantik pula. Sepadan dengan kau.” Kemala Negara setuju pendapat temannya. Disimpannya cawan itu tanpa mengusik isinya. Hari itu juga, dia sendiri berperahu menghulu Sungai Musi.

Dua hari berperahu menghulu, terus bertanya, dan bersua dengan seorang gadis yang sedang mengambil air. Gadis itu tersenyum menjawab:
“Benar, Tuan Muda. Ini cawan keramas milik temanku. Dayang Merindu namanya. Tiga hari yang lalu kami mandi beramai-ramai. Dia keramas mencuci rambutnya. Diletakkannya cawan ini di rakit dan kami mandi bermain simbur-simburan. Dia sangat risau karena cawannya ini hanyut.”
“Terima kasih. Tolonglah Adik kembalikan padanya,” ujar Kemala Negara.
Gadis itu kagum meliht pemuda yang berwajah tampan di hadapannya. Dia berkata:
“Tuan Muda sendirilah yang mengembalikannya. Itu rumahnya di hulu situ. Pasti dia sangat berterima kasih.
“Ah, tolong kembalikanlah Dik. Saya khawatir nanti kalau-kalau dia mengira cawannya ini saya ambil begitu saja.”
“Tidak, Tuan Muda. Dayang Merindu itu gadis paling cantik jelita di seluruh kampung ini. Sangat rendah hati dan ramah. Tuan Muda sudah menemukan dan dua hari jauh-jauh dari hilir sana mengantarkannya ke sini.” Tapi karena Kemala Negara menolak untuk mengantarkan, gadis itu berkata:
“Baiklah. Sebentar lagi saya akan ke rumahnya. Kami akan mandi ramai-ramai petang ini. Nanti akan saya ceritakan semua kepadanya. Tuan Muda tunggu kami di tepi semak jalan ke tepian mandi. Serahkanlah langsung kepadanya.” Kemala Negara setuju. Ditambatkannya perahu di dekat belukar, dia menanti di jalan ke tepian mandi. Ketika dilihatnya gadis tadi datang bersama empat gadis, dapatlah dia menduga yang mana gerangan Dayang Merindu. Ketika saling pandang dari jarak yang masih agak jauh, pertama kali dalam hidupnya Dayang Merindu merasa darahnya bergetar, kagum melihat Kemala Negara membungkuk tnda hormat. Dayang Merindu langsung berujar:
“Temanku ini sudah menceritakan semua. Alangkah tingginya baik budi Tuan, telah menemukan dan sudi bersusah payah mengantarkan cawan itu.”
“Maaf Putri Jelita. Terimalah cawan ini. Saya bahagia karena telah dapat mengembalikannya,’ kata Kemala Negara. Dayang Merindu menyambut cawan itu. Masih saling memegang cawan, Dayang Merindu berujar:
“Dengar apa gerangan saya dapat membalas baik budi Tuan?”
Kemala Negara tak mampu berkata-kata. Darahnya gemuruh. Keduanya saling merasakan api cinta pertama bergelora di jiwa. Dayang Merindu sadar dan merasa malu pada teman-temannya. Ditariknya cawan itu. Namun, teman-temannya yang sudah maklum sengaja menjauh. Kemudian, berbincang-bincanglah kedua remaja yang saling jatuh cinta itu. Berkatalah Kemala Negara:
“Silahkan mandi. Teman-teman sudah menanti. Bolehkan kita bersua lagi?”
“Saya juga ingin berkata begitu. Dapatkah kita bersua lagi? Kami mandi dua kali sehari. Tunggulah di jalan ini.”

Tiga hari lamanya Kemala Negara berada di kampung itu. Enam kali mereka bersua dan berbincang. Ketika pulang ke kampungnya, Kemala Negara minta orangtuanya melamar Dayang Merindu. Akan tetapi, alangkah kecewanya mereka, ketika Sah Denar dan istrinya menolak lamaran, dengan alasan Dayang Merindu sudah dipertunangkan.
Kemala Negara sangat marah. Ditantangnya Dewa Jaya bertanding. Dewa Jaya tidak menolak. Keduanya menghadap Datuk kampung itu. Mereka menyatakan ingin bertanding. Siapa yang menang dialah yang berhak jadi suami Dayang Merindu.

Diumumkanlah ke seluruh kampung akan diadakan pertandingan. Seluruh penduduk pun berkumpul menyaksikan. Hanya Dayang Merindu yang tak mau keluar dari rumah. Dia sangat cemas kalau-akalu Kemala Negara kalah. Setengah hari penuh kedua pemuda itu bertanding pencak silat. Ternyata tak ada yang kalah. Oleh karena itu, Datuk memutuskan, pertandingan dialihkan pada lomba bidar. Siapa yang lebih dahulu mencapai garis finis, dialah yang menang.

Pada hari yang ditentukan, seluruh penduduk menyaksikan di tepi Sunagi Musi. Kedua pemuda itu mendapat sebuah perahu bidar yang kecil. Seluruh penduduk berdebar-debar menyaksikan karena ternyata kedua pemuda itu sama kuat dan sama cepat. Keduanya menggunakan tenaga dalam masing-masing. Ternyata keduanya mencapai garis finis pada saat yang bersamaan. Akan tetapi, seluruh penduduk menjdi cemas karena melihat kedua pemuda itu tertelungkup di perahu masing-masing. Ketika diperiksa, keduanya sudah tidak bernyawa lagi.

Mendengar berita itu, Dayang Merindu meninggalkan rumahnya. Datang ke pendopo dimana kedua mayat pemuda itu dibaringkan. Dia berdiri menghadap sang Datuk yang duduk di kursi kehormatan dekat kedua mayat itu. Dengan hormat, gadis itu berkata:
“Saya dan Kemala Negara saling mencinta. Akan tetapi, saya tahu Dewa Jaya juga sangat mencintai saya. Cintanya direstui oleh orang tua saya. Sekarang keduanya sudah menjadi mayat. Saya ingin berlaku adil terhadap keduanya. Mohon agar Datuk belah menjadi dua tubuh saya ini. Yang sebelah mohon dikuburkan bersama Kemala Negara dan yang sebelah lagi dikuburkan bersama Dewa Jaya.” Hadirin dan Datuk terpana mendengar keputusan Dayang Merindu itu. Sebelum mereka sempat berkata dan berbuat sesuatu, tangan kanan Dayang Merindu yang sejak tadi memegang sebelah pisau yang diolesi dengan racun terayun cepat. Ujung pisau menusuk dadanya. Dia rebah dan tewas di tempat itu.

Menurut cerita, seluruh penduduk sangat menghormati dan menyanjung Dayang Merindu yang berani berlaku adil terhadap pemuda yang mencintainya. Jika mereka mengadakan acara untuk memperingati Dayang Merindu yang jadi idola seluruh penduduk, mereka mengadakan lomba bidar.

Cerita ini legenda belaka. Orang tak percaya itu pernah terjadi. Namun, di Palembang, tempat Dayang Merindu mandi berkeramas, sampai sekarang bernama Kampung Keramasan. Lomba bidar dikembangkan, sampai sekarang dan seterusnya akan hidup sebagai seni tradisional dayung Palembang. Kisah Dayang Merindu masih terus hidup sampai sekarang. Kisah ini sering dipentaskan dengan tari, melambangkan kecantikan, kejujuran, penghormatan pada orang tua dan kemampuan bertindak adil terhadap orang yang telah berkorban jiwa karena mencintainya.

Pustaka : Rumah Baca Liana indonesia (http://liana-indonesia.blog.co.uk)

SEJARAH KERAJAAN SRIWIJAYA




Ilmu Pengetahuan Mengenai Sejarah Kerajaan Sriwijaya Baru Lahir Pada Permulaan Abad Ke-20 M, Ketika George Coedes Menulis Sebuah Karangannya Mengenai Kerajaan Sriwijaya Berjudul Le Royaume De Crivijaya Pada Tahun 1918 M. Sebenarnya, Lima Tahun Sebelum Itu, Yaitu Pada Tahun 1913 M, Kern Telah Menerbitkan Tulisan Tentang Prasasti Kota Kapur, Sebuah Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Yang Ditemukan Di Pulau Bangka.

Namun Saat Itu, Kern Masih Menganggap Nama Kerajaan Sriwijaya Yang Tercantum Pada Prasasti Tersebut Sebagai Nama Seorang Raja, Karena Cri Biasanya Digunakan Sebagai Sebutan Atau Gelar Raja. Pada Tahun 1896 M, Sarjana Jepang Takakusu Menerjemahkan Karya I-Tsing, Nan-Hai-Chi-Kuei-Nai Fa-Chan Ke Dalam Bahasa Inggris Dengan Judul A Record Of The Budhist Religion As Practised In India And The Malay Archipelago.

Namun, Dalam Buku Tersebut Tidak Terdapat Nama Kerajaan Sriwijaya, Yang Ada Hanya Shih-Li-Fo-Shih. Dari Terjemahan Prasasti Kota Kapur Yang Memuat Nama Kerajaan Sriwijaya Dan Karya I-Tsing Yang Memuat Nama Shih-Li-Fo-Shih, Coedes Kemudian Menetapkan Bahwa, Kerajaan Sriwijaya Adalah Nama Sebuah Kerajaan Di Sumatera Selatan.

Banyak Dugaan Bahwa Awal Masuknya Agama Buddha Ke Indonesia Adalah Pada Kedatangan Aji Saka Ke Tanah Jawa Pada Awal Abad Kesatu. Dugaan Ini Berawal Dari Etimologis Terhadap Kata Aji Saka Itu Sendiri, Serta Hal-Hal Yang Berkaitan Dengannya. Kata " Aji " Dalam Bahasa Kawi Bisa Berarti Ilmu Yang Ada Hubungannya Dengan Kitab Suci, Sedangkan " Saka " Ditafsirkan Sebagai Kata Sakya Yang Mengalami Transformasi.

Dengan Demikian Mungkin Kata Aji Saka Ditafsirkan Sebagai Gelar Raja Tritustha Yang Ahli Mengenai Kitab Suci Sakya, Dalam Hal Ini Ahli Tentang Buddha Dhamma, Selain Dianggap Sebagai Orang Yang Bertanggung Jawab Terhadap Pembuatan Aksara Jawa. Bila Hal Ini Benar, Tarikh Saka Yang Permulaanya Dinyatakan Sebagai " Nir Wuk Tanpa Jalu " [ Nir Berarti Kosong [ 0 ], Wuk Berarti Tidak Jadi [ 0 ], Tanpa Berarti 0 Dan Jalu Sama Dengan 1 ] Yang Sekaligus Dimaksudkan Untuk Mengabadikan Pendaratan Pertama Aji Saka Di Jepara.

Lebih Lanjut, Coedes Juga Menetapkan Bahwa, Letak Ibukota Kerajaan Sriwijaya Adalah Palembang, Dengan Bersandar Pada Anggapan Groeneveldt Dalam Karangannya, Notes On The Malay Archipelago And Malacca, Compiled From Chinese Source, Yang Menyatakan Bahwa, San-Fo-Tsi Adalah Palembang.
Sumber Lain Yang Juga Menunjukan Hal Yang Sama, Yaitu Beal Mengemukakan Pendapatnya Pada Tahun 1886 Bahwa, Shih-Li-Fo-Shih Merupakan Suatu Daerah Yang Terletak Di Tepi Sungai Musi, Dekat Kota Palembang Sekarang. Dari Pendapat Ini, Kemudian Muncul Suatu Kecenderungan Di Kalangan Sejarawan Untuk Menganggap Palembang Sebagai Pusat Kerajaan Sriwijaya.

Banyak Sumber Pengetahuan Kita Tentang Agama Buddha Diambil Dari Prasasti Yang Ditemukan Dan Dari Catatan-Catatan Luar Negri, Yaitu Dari Orang China Yang Mengunjungi Indonesia. Prasasti Yang Berasal Dari Abad Kelima Hingga Ketujuh Tidak Terlalu Banyak Memberikan Informasi. Prasasti Itu Berasal Dari Kalimantan, Sumatra Dan Jawa.

Dari Prasasti Itu Kita Hanya Mengetahui Bahwa Pada Waktu Itu Ada Raja-Raja Yang Memiliki Nama Yang Berbau India, Seperti Mulawarman Di Kutti Dan Purnawarman Di Jawa-Barat. Tetapi Hal Itu Tidak Berarti Bahwa Raja Tersebut Berasal Dari India. Yang Paling Mungkin Adalah Raja-Raja Tersebut Adalah Orang Indonesia Asli Yang Sudah Masuk Agama Yang Datang Dari India. Selanjutnya Prasasti Tersebut Menunjukan Bahwa Agama Yang Dipeluk Adalah Agama Hindu. Tapi Dari Penemuan Patung-Patung Buddha, Dapat Disimpulkan Bahwa Agama Buddha Juga Sudah Ada, Walaupun Jumlahnya Masih Sedikit.

Sumber Lain Yang Mendukung Keberadaan Palembang Sebagai Pusat Kerajaan Sriwijaya Adalah Prasasti Telaga Batu. Prasasti Ini Berbentuk Batu Lempeng Mendekati Segi Lima, Di Atasnya Ada Tujuh Kepala Ular Kobra, Dengan Sebentuk Mangkuk Kecil Dengan Cerat [ Mulut Kecil Tempat Keluar Air ] Di Bawahnya. Menurut Para Arkeolog, Prasasti Ini Digunakan Untuk Pelaksanaan Upacara Sumpah Kesetiaan Dan Kepatuhan Para Calon Pejabat Di Kerajaan Sriwijaya.

Dalam Prosesi Itu, Pejabat Yang Disumpah Meminum Air Yang Dialirkan Ke Batu Dan Keluar Melalui Cerat Tersebut. Sebagai Sarana Untuk Upacara Persumpahan, Prasasti Seperti Itu Biasanya Ditempatkan Di Pusat Kerajaan. Karena Ditemukan Di Sekitar Palembang Pada Tahun 1918 M, Maka Diduga Kuat Palembang Merupakan Pusat Kerajaan Sriwijaya
Beberapa Ahli Mengatakan Bahwa Ye-Po-Ti Adalah Jawa [ Javadvipa ]. Fah-Hien Menyebutkan Ada Umat Buddha Di Ye-Po-Ti, Walaupun Cuma Sedikit. Sekalipun Demikian Agaknya Sesudah Abad Kelima Keadaan Berubah. Tidak Sampai Tiga Ratus Tahun Kemudian, Pada Akhir Abad Ketujuh, Biksu China I-Tsing Mencatat Dengan Lengkap Agama Buddha Dan Aplikasinya Di India Dan Melayu.

Ketertarikan Utamanya Adalah Pada " Rumah Agama Buddha " India Utara Dimana I-Tsing Tinggal Dan Belajar Disana Selama Lebih Dari Sepuluh Tahun. Dari Catatannya Dapat Dikatakan Bahwa Agama Buddha Di India Dan Sumatra Mempunyai Banyak Kesamaan, Dimana I-Tsing Juga Menemukan Perbedaan Antara Agama Buddha Di China Dan Di India. I-Tsing Menghabiskan Waktunya Hidup Sendirian Sebagai Biksu Di India Dan Sumatra. Seluruh Bukunya Merupakan Catatan Lengkap Tentang Kehidupan Biarawan. Ia Tinggal Di India Seluruhnya Berdasarkan Peraturan Vinnaya.

Bila Dibandingkan Catatan Fah-Hien Tahun 414 Dengan Catatan I-Tsing, Dapat Diambil Kesimpulan Bahwa Agama Buddha Dipulau Jawa Dan Sumatra Telah Dibangun Dengan Sangat Cepat. Pekerjaan I-Tsing Selain Menulis Catatan Seperti Dikemukakan Diatas, Ia Juga Menulis Buku Tentang Perjalanan Seorang Guru Agama Terkenal Yang Pergi Ke Negri Disebelah Barat [ Kerajaan Sriwijaya ? ].

Diceritakannya Pada Catatannya Itu, Kehidupan Biarawan Yang Pada Intinya Hampir Sama Dengan Yang Ada Di India. Dalam Bukunya Dikatakan Bahwa Biksu Asli Jawa Dan Sumatra Adalah Sarjana Sanskrit Yang Sangat Bagus. Salah Saatunya Adalah Jnanabhadra Yang Merupakan Orang Jawa Asli Yang Tinggal Di Sumatra Dan Bertindak Sebagai Guru Bagi Biksu China Dan Membantu Menterjemahkan Sutra Kedalam Bahasa China. Bahasa Yang Digunakan Oleh Biksu Buddha Adalah Bahasa Sanskrit.

Bahasa Pali Tidak Digunakan. Bagaimanapun Hal Ini Tidak Boleh Dijadikan Patokan Bahwa Agama Buddha Yang Berkembang Disini Adalah Mahayana. I-Tsing Menjelaskan Dalam Bukunya. Agama Buddha Dipeluk Diseluruh Negri Ini Dan Kebanyakan Sistem Yang Diadopsi Adalah Hinayana, Kecuali Di Melayu Dimana Ada Sedikit Yang Mengadopsi Mahayana. Sudah Banyak Diketahui Umum Bahwa Literatur Agama Buddha Berbahasa Sanskrit Tidak Melulu Berarti Mahayana.

Inilah Bentuk Agama Buddha Yang Mencapai Kepulauan Di Laut Selatan. I-Tsing Mengatakan Di Kepulauan Di Laut Selatan, Mulasarvastivadanikayo Hampir Secara Universal Di Adaptasi. I-Tsing Tampaknya Tidak Mempermasalahkan Perbedaan Antara Penganut Hinayana Dan Mahayana. Dikatakannya :
Mereka Yang Menyembah Bodhisatta Dan Membaca Sutra Mahayana Disebut Penganut Mahayana. Sementara Yang Tidak Disebut Penganut Hinayana. Kedua Sistem Ini Sesuai Dengan Ajaran Dhamma.

Dapatkah Kita Katakan Mana Yang Benar? Keduanya Mengajarkan Kebajikan Dan Membimbing Kita Ke Nirvana. Keduanya Menuju Kepada Pemusnahan Nafsu Dan Penyelamatan Semua Mahluk Hidup. Kita Tidak Boleh Mempersoalkan Perbedaan Ini. Membuat Keraguan Yang Malah Akan Membuat Kebingungan. Dari Karya-Karyanya Dapat Dikatakan Bahwa I-Tsing Tidaklah Terlalu Dalam Bergelut Dalam Masalah Filosofi Buddhis Tetapi Hanya Tertarik Pada Kehidupan Biarawan Dan Tugas-Tugas Yang Diemban Oleh Mereka. Dengan Kata Lain, Ia Memberikan Seluruh Waktunya Untuk Belajar Vinnaya Dan Kehidupan Biarawan
Sebagai Pusat Kerajaan, Kondisi Palembang Ketika Itu Bersifat Mendesa [ Rural ], Tidak Seperti Pusat-Pusat Kerajaan Lain Yang Ditemukan Di Wilayah Asia Tenggara Daratan, Seperti Di Thailand, Kamboja, Dan Myanmar. Bahan Utama Yang Dipakai Untuk Membuat Bangunan Di Pusat Kota Kerajaan Sriwijaya Adalah Kayu Atau Bambu Yang Mudah Didapatkan Di Sekitarnya. Oleh Karena Bahan Itu Mudah Rusak Termakan Zaman, Maka Tidak Ada Sisa Bangunan Yang Dapat Ditemukan Lagi.

Kalaupun Ada, Sisa Pemukiman Dengan Konstruksi Kayu Tersebut Hanya Dapat Ditemukan Di Daerah Rawa Atau Tepian Sungai Yang Terendam Air, Bukan Di Pusat Kota, Seperti Di Situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari, Jambi. Memang Ada Bangunan Yang Dibuat Dari Bahan Bata Atau Batu, Tapi Hanya Bangunan Sakral [ Keagamaan ], Seperti Yang Ditemukan Di Palembang, Di Situs Gedingsuro, Candi Angsoka, Dan Bukit Siguntang, Yang Terbuat Dari Bata. Sayang Sekali, Sisa Bangunan Yang Ditemukan Tersebut Hanya Bagian Pondasinya Saja.

Seiring Perkembangan, Semakin Banyak Ditemukan Data Sejarah Berkenaan Dengan Kerajaan Sriwijaya. Selain Prasasti Kota Kapur, Juga Ditemukan Prasasti Karang Berahi [ Ditemukan Tahun 1904 M ], Telaga Batu [ Ditemukan Tahun 1918 M ], Kedukan Bukit [ Ditemukan Tahun 1920 M ] Talang Tuo [ Ditemukan Tahun 1920 M ] Dan Boom Baru.

Di Antara Prasasti Di Atas, Prasasti Kota Kapur Merupakan Yang Paling Tua, Bertarikh 682 M, Menceritakan Tentang Kisah Perjalanan Suci Dapunta Hyang Dari Minanga Dengan Perahu, Bersama Dua Laksa [ 20.000 ] Tentara Dan 200 Peti Perbekalan, Serta 1.213 Tentara Yang Berjalan Kaki. Perjalanan Ini Berakhir Di Mukha-P. Di Tempat Tersebut, Dapunta Hyang Kemudian Mendirikan Wanua [ Perkampungan ] Yang Diberi Nama Kerajaan Sriwijaya.

Dalam Prasasti Talang Tuo Yang Bertarikh 684 M, Disebutkan Mengenai Pembangunan Taman Oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa Untuk Semua Makhluk, Yang Diberi Nama Sriksetra. Dalam Taman Tersebut, Terdapat Pohon-Pohon Yang Buahnya Dapat Dimakan. Data Tersebut Semakin Lengkap Dengan Adanya Berita Cina Dan Arab. Sumber Cina Yang Paling Sering Dikutip Adalah Catatan I-Tsing.

Ia Merupakan Seorang Peziarah Budha Dari China Yang Telah Mengunjungi Kerajaan Sriwijaya Beberapa Kali Dan Sempat Bermukim Beberapa Lama. Kunjungan I-Sting Pertama Adalah Tahun 671 M. Dalam Catatannya Disebutkan Bahwa, Saat Itu Terdapat Lebih Dari Seribu Orang Pendeta Budha Di Kerajaan Sriwijaya. Aturan Dan Upacara Para Pendeta Budha Tersebut Sama Dengan Aturan Dan Upacara Yang Dilakukan Oleh Para Pendeta Budha Di India
I-Tsing Tinggal Selama 6 Bulan Di Kerajaan Sriwijaya Untuk Belajar Bahasa Sansekerta, Setelah Itu, Baru Ia Berangkat Ke Nalanda, India. Setelah Lama Belajar Di Nalanda, I-Tsing Kembali Ke Kerajaan Sriwijaya Pada Tahun 685 Dan Tinggal Selama Beberapa Tahun Untuk Menerjemahkan Teks-Teks Budha Dari Bahasa Sansekerta Ke Bahasa Cina. Catatan Cina Yang Lain Menyebutkan Tentang Utusan Kerajaan Sriwijaya Yang Datang Secara Rutin Ke Cina, Yang Terakhir Adalah Tahun 988 M.

Dalam Sumber Lain, Yaitu Catatan Arab, Kerajaan Sriwijaya Disebut Sribuza. Masudi, Seorang Sejarawan Arab Klasik Menulis Catatan Tentang Kerajaan Sriwijaya Pada Tahun 955 M. Dalam Catatan Itu, Digambarkan Kerajaan Sriwijaya Merupakan Sebuah Kerajaan Besar, Dengan Tentara Yang Sangat Banyak.

Hasil Bumi Kerajaan Sriwijaya Adalah Kapur Barus, Kayu Gaharu, Cengkeh, Kayu Cendana, Pala, Kardamunggu, Gambir Dan Beberapa Hasil Bumi Lainya. Dari Catatan Asing Tersebut, Bisa Diketahui Bahwa Kerajaan Sriwijaya Merupakan Kerajaan Besar Pada Masanya, Dengan Wilayah Dan Relasi Dagang Yang Luas Sampai Ke Madagaskar.

Sejumlah Bukti Lain Berupa Arca, Stupika, Maupun Prasasti Lainnya Semakin Menegaskan Bahwa, Pada Masanya Kerajaan Sriwijaya Adalah Kerajaan Yang Mempunyai Komunikasi Yang Baik Dengan Para Saudagar Dan Pendeta Di Cina, India Dan Arab. Hal Ini Hanya Mungkin Bisa Dilakukan Oleh Sebuah Kerajaan Yang Besar, Berpengaruh, Dan Diperhitungkan Di Kawasannya.

Seperti Dikemukakan Diatas, Di Sumatra Dan Jawa Lebih Berkembang Hinayana. I-Tsing Menceritakan Bahwa Di Melayu, Ditengah-Tengah Pesisir Timur Sumatra Ada Pula Yang Menganut Mahayana. Dari Sumber Lain Dijelaskan Bahwa Sebelum Kedatangan I-Tsing, Telah Datang Biksu Dari India Dharmapala, Ke Melayu Dan Menyebarkan Aliran Mahayana.

Awal Abad Ke-20, Dua Prasasti Ditemukan Di Dekat Palembang Yang Bercorak Mahayana. Prasasti Lain Yang Dibuat Tahun 775, Ditemukan Di Viengsa, Semenanjung Melayu Mengemukakan Bahwa Salah Satu Raja Kerajaan Sriwijaya Dari Keturunan Syailendra - Yang Tidak Cuma Memerintah Di Selatan Sumatra Tapi Juga Dibagian Selatan Semenanjung Melayu - Memerintahkan Pembangunan Tiga Stupa. Ketiga Stupa Tersebut Dipersembahkan Kepada Buddha, Bodhisatwa Avalokitesvara Dan Vajrapani. Dan Ditempat Lain Ditemukan Plat Emas Yang Bertuliskan Beberapa Nama Dyani Buddha, Yang Jelas-Jelas Merupakan Aliran Mahayana.

Dari Berita I-Tsing Itu Selanjutnya Kita Dapat Mengambil Kesimpulan Bahwa Pada Waktu Itu Kerajaan Sriwijaya Menjadi Pusat Agama Buddha. Disana Terdapat Sebuah Perguruan Tinggi Buddha Yang Tidak Kalah Dengan Perguruan Yang Ada Di Nalanda India. Ada Lebih Dari 1000 Biksu Yang Ajaran Serta Tata Upacaranya Sama Dengan Yang Ada Di India.

Kecuali Pengikut Hinayana, Di Kerajaan Sriwijaya Juga Terdapat Pengikut Mahayana. Bahkan Ada Guru Mahayana Yang Mengajar Disitu. Dari Berita Ini Jelas Bahwa Kerajaan Sriwijaya Adalah Pusat Agama Buddha Mahayana, Yang Terbuka Bagi Gagasan Baru Dan Yang Juga Senang Mengadakan Pekerjaan Ilmiah. Oleh Karena Itu Musafir China Yang Ingin Belajar Di India Pasti Singgah Di Kerajaan Sriwijaya Untuk Mengadakan Persiapan. Hal Itu Juga Dilakukan Oleh I-Tsing Sendiri.

BUKTI PALEMBANG PUSAT KERAJAAN SRIWIJAYA
________________________________________

Pada Tahun 1913 M, Kern Telah Menerbitkan Tulisan Tentang Prasasti Kota Kapur, Sebuah Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Yang Ditemukan Di Pulau Bangka. Namun Saat Itu, Kern Masih Menganggap Nama Kerajaan Sriwijaya Yang Tercantum Pada Prasasti Tersebut Sebagai Nama Seorang Raja, Karena Cri Biasanya Digunakan Sebagai Sebutan Atau Gelar Raja.
George Coedes Dalam Tulisannya Mengenai Kerajaan Sriwijaya Berjudul Le Royaume De Crivijaya Pada Tahun 1918 M, Menetapkan Bahwa, Kerajaan Sriwijaya Adalah Nama Sebuah Kerajaan Di Sumatera Selatan.
Sarjana Jepang Takakusu Menerjemahkan Karya I-Tsing, Nan-Hai-Chi-Kuei-Nai Fa-Chan Ke Dalam Bahasa Inggris Dengan Judul A Record Of The Budhist Religion As Practised In India And The Malay Archipelago. Namun, Dalam Buku Tersebut Tidak Terdapat Nama Kerajaan Sriwijaya, Yang Ada Hanya Shih-Li-Fo-Shih. Dari Terjemahan Prasasti Kota Kapur Yang Memuat Nama Kerajaan Sriwijaya Dan Karya I-Tsing Yang Memuat Nama Shih-Li-Fo-Shih, Coedes Kemudian Menetapkan Bahwa, Kerajaan Sriwijaya Adalah Nama Sebuah Kerajaan Di Sumatera Selatan.

Lebih Lanjut, Coedes Juga Menetapkan Bahwa, Letak Ibukota Kerajaan Sriwijaya Adalah Palembang, Dengan Bersandar Pada Anggapan Groeneveldt Dalam Karangannya, Notes On The Malay Archipelago And Malacca, Compiled From Chinese Source, Yang Menyatakan Bahwa, San-Fo-Tsi Adalah Palembang. Sumber Lain, Yaitu Beal Mengemukakan Pendapatnya Pada Tahun 1886 Bahwa, Shih-Li-Fo-Shih Merupakan Suatu Daerah Yang Terletak Di Tepi Sungai Musi, Dekat Kota Palembang Sekarang. Dari Pendapat Ini, Kemudian Muncul Suatu Kecenderungan Di Kalangan Sejarawan Untuk Menganggap Palembang Sebagai Pusat Kerajaan Sriwijaya.

Sumber Lain Yang Mendukung Keberadaan Palembang Sebagai Pusat Kerajaan Sriwijaya Adalah Prasasti Telaga Batu. Prasasti Ini Berbentuk Batu Lempeng Mendekati Segi Lima, Di Atasnya Ada Tujuh Kepala Ular Kobra, Dengan Sebentuk Mangkuk Kecil Dengan Cerat [ Mulut Kecil Tempat Keluar Air ] Di Bawahnya. Menurut Para Arkeolog, Prasasti Ini Digunakan Untuk Pelaksanaan Upacara Sumpah Kesetiaan Dan Kepatuhan Para Calon Pejabat Di Kerajaan Sriwijaya. Dalam Prosesi Itu, Pejabat Yang Disumpah Meminum Air Yang Dialirkan Ke Batu Dan Keluar Melalui Cerat Tersebut. Sebagai Sarana Untuk Upacara Persumpahan, Prasasti Seperti Itu Biasanya Ditempatkan Di Pusat Kerajaan. Karena Ditemukan Di Sekitar Palembang Pada Tahun 1918 M, Maka Diduga Kuat Palembang Merupakan Pusat Kerajaan Sriwijaya.

Petunjuk Lain Yang Menyatakan Bahwa Palembang Merupakan Pusat Kerajaan Sriwijaya Juga Diperoleh Dari Hasil Temuan Barang-Barang Keramik Dan Tembikar Di Situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang Dan Kambang Unglen, Semuanya Di Daerah Palembang. Keramik Dan Tembikar Tersebut Merupakan Alat Yang Digunakan Dalam Kehidupan Sehari-Hari. Temuan Ini Menunjukkan Bahwa, Pada Masa Dulu, Di Palembang Terdapat Pemukiman Kuno. Dugaan Ini Semakin Kuat Dengan Hasil Interpretasi Foto Udara Di Daerah Sebelah Barat Kota Palembang, Yang Menggambarkan Bentuk-Bentuk Kolam Dan Kanal. Kolam Dan Kanal-Kanal Yang Bentuknya Teratur Itu Kemungkinan Besar Buatan Manusia, Bukan Hasil Dari Proses Alami. Dari Hasil Temuan Keramik Dan Kanal-Kanal Ini, Maka Dugaan Para Arkeolog Bahwa Palembang Merupakan Pusat Kerajaan Sriwijaya Semakin Kuat.
BENDA PENINGGALAN KERAJAAN SRIWIJAYA
________________________________________

Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Diantaranya Adalah Prasasti Kota Kapur, Sebuah Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Yang Ditemukan Di Pulau Bangka. Kern Telah Menerbitkan Tulisan Tentang Prasasti Kota Kapur, Namun Saat Itu, Kern Masih Menganggap Nama Kerajaan Sriwijaya Yang Tercantum Pada Prasasti Tersebut Sebagai Nama Seorang Raja, Karena Cri Biasanya Digunakan Sebagai Sebutan Atau Gelar Raja.

Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Yang Lain Adalah Prasasti Telaga Batu. Prasasti Telaga Batu Berbentuk Batu Lempeng Mendekati Segi Lima, Di Atasnya Ada Tujuh Kepala Ular Kobra, Dengan Sebentuk Mangkuk Kecil Dengan Cerat [ Mulut Kecil Tempat Keluar Air ] Di Bawahnya. Menurut Para Arkeolog, Prasasti Ini Digunakan Untuk Pelaksanaan Upacara Sumpah Kesetiaan Dan Kepatuhan Para Calon Pejabat Di Kerajaan Sriwijaya. Dalam Prosesi Itu, Pejabat Yang Disumpah Meminum Air Yang Dialirkan Ke Batu Dan Keluar Melalui Cerat Tersebut. Sebagai Sarana Untuk Upacara Persumpahan, Prasasti Seperti Itu Biasanya Ditempatkan Di Pusat Kerajaan. Karena Ditemukan Di Sekitar Palembang Pada Tahun 1918 M, Maka Diduga Kuat Palembang Merupakan Pusat Kerajaan Sriwijaya.

Masih Ada Lagi Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Lainnya, Yaitu Barang-Barang Keramik Dan Tembikar. Peninggalan Berupa Barang-Barang Keramik Dan Tembikar Ini Ditemukan Di Situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang Dan Kambang Unglen. Kesemuanya Di Daerah Palembang. Keramik Dan Tembikar Tersebut Merupakan Alat Yang Digunakan Dalam Kehidupan Sehari-Hari. Temuan Ini Menunjukkan Bahwa, Pada Masa Dulu, Di Palembang Terdapat Pemukiman Kuno. Dugaan Ini Semakin Kuat Dengan Hasil Interpretasi Foto Udara Di Daerah Sebelah Barat Kota Palembang, Yang Menggambarkan Bentuk-Bentuk Kolam Dan Kanal. Kolam Dan Kanal-Kanal Yang Bentuknya Teratur Itu Kemungkinan Besar Buatan Manusia, Bukan Hasil Dari Proses Alami.

Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Berupa Prasasti Selain Prasasti Kota Kapur Adalah Prasasti Karang Berahi [ Ditemukan Tahun 1904 M ], Prasasti Telaga Batu [ Ditemukan Tahun 1918 M ], Prasasti Kedukan Bukit [ Ditemukan Tahun 1920 M ], Prasasti Talang Tuo [ Ditemukan Tahun 1920 M ] Dan Boom Baru. Di Antara Prasasti Di Atas, Prasasti Kota Kapur Merupakan Yang Paling Tua, Berangka Tahun 682 M, Menceritakan Tentang Kisah Perjalanan Suci Dapunta Hyang Dari Minanga Dengan Perahu, Bersama Dua Laksa [ 20.000 ] Tentara Dan 200 Peti Perbekalan, Serta 1.213 Tentara Yang Berjalan Kaki. Perjalanan Ini Berakhir Di Mukha-P. Di Tempat Tersebut, Dapunta Hyang Kemudian Mendirikan Wanua [ Perkampungan ] Yang Diberi Nama Sriwijaya.

Dalam Prasasti Talang Tuo Yang Bertarikh 684 M, Disebutkan Mengenai Pembangunan Taman Oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa Untuk Semua Makhluk, Yang Diberi Nama Sriksetra. Dalam Taman Tersebut, Terdapat Pohon-Pohon Yang Buahnya Dapat Dimakan.

Dari Prasasti Kota Kapur Yang Ditemukan JK Van Der Meulen Di Pulau Bangka Pada Bulan Desember 1892 M, Diperoleh Petunjuk Mengenai Kerajaan Sriwijaya Yang Sedang Berusaha Menaklukkan Bumi Jawa. Meskipun Tidak Dijelaskan Wilayah Mana Yang Dimaksud Dengan Bhumi Jawa Dalam Prasasti Itu, Beberapa Arkeolog Meyakini, Yang Dimaksud Bhumi Jawa Itu Adalah Kerajaan Tarumanegara Di Pantai Utara Jawa Barat. Selain Dari Isi Prasasti, Wilayah Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya Juga Bisa Diketahui Dari Persebaran Lokasi Prasasti-Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Tersebut. Di Daerah Lampung Ditemukan Prasasti Palas Pasemah, Di Jambi Ada Karang Berahi, Di Bangka Ada Kota Kapur, Di Riau Ada Muara Takus. Semua Ini Menunjukkan Bahwa, Daerah-Daerah Tersebut Pernah Dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Sumber Lain Ada Yang Mengatakan Bahwa, Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya Sebenarnya Mencapai Philipina. Ini Merupakan Bukti Bahwa, Kerajaan Sriwijaya Pernah Menguasai Sebagian Besar Wilayah Nusantara.

Dalam Relasinya Dengan India, Raja-Raja Kerajaan Sriwijaya Bukan Saja Membangun Prasasti Di Wilayah Kerajaan Sriwijaya, Tetapi Juga Membangun Bangunan Suci Agama Budha Di India. Fakta Ini Tercantum Dalam Dua Buah Prasasti, Yaitu Prasasti Raja Dewapaladewa Dari Nalanda, Yang Diperkirakan Berasal Dari Abad Ke-9 M, Dan Prasasti Raja Rajaraja I Yang Berangka Tahun 1044 M Dan 1046 M. Prasasti Prasasti Raja Dewapaladewa Dari Nalanda Menyebutkan Tentang Raja Balaputradewa Dari Suwarnadwipa [ Kerajaan Sriwijaya ] Yang Membangun Sebuah Biara. Sementara Prasasti Raja Rajaraja I Menyebutkan Tentang Raja Kataha Dan Kerajaan Sriwijaya, Marawijayayottunggawarman Yang Memberi Hadiah Sebuah Desa Untuk Dipersembahkan Kepada Sang Buddha Yang Berada Dalam Biara Cudamaniwarna, Nagipattana, India.
CATATAN TENTANG KERAJAAN SRIWIJAYA
________________________________________

Salah Satu Catatan Tentang Kerajaan Sriwijaya Adalah Catatan Perjalanan I-Tsing. Dalam Catatan I-Tsing Ini Disebutkan Bahwa, Pada Saat Itu, Di Kerajaan Sriwijaya Terdapat Seribu Pendeta. Dalam Perjalanan Pertamanya, I-Tsing Sempat Bermukim Selama Enam Bulan Di Kerajaan Sriwijaya Untuk Mendalami Bahasa Sansekerta. I-Tsing Juga Menganjurkan, Jika Seorang Pendeta Cina Ingin Belajar Ke India, Sebaiknya Belajar Dulu Setahun Atau Dua Tahun Di Fo-Shih [ Palembang ], Baru Kemudian Belajar Di India.

Sepulangnya Dari Nalanda, I-Tsing Menetap Di Kerajaan Sriwijaya Selama Tujuh Tahun [ 688-695 M ] Dan Menghasilkan Dua Karya Besar Yaitu Ta T'Ang Si-Yu-Ku-Fa-Kao-Seng-Chuan Dan Nan-Hai-Chi-Kuei-Nei-Fa-Chuan [ A Record Of The Budhist Religion As Practised In India And The Malay Archipelago ] Yang Selesai Ditulis Pada Tahun 692 M. Ini Menunjukkan Bahwa, Kerajaan Sriwijaya Merupakan Salah Satu Pusat Agama Budha Yang Penting Pada Saat Itu.

Selain Itu, Hal Penting Lain Yang Juga Termuat Dalam Catatan I-Tsing, Adalah Ketertarikan Utamanya Adalah Pada " Rumah Agama Buddha " India Utara Dimana I-Tsing Tinggal Dan Belajar Disana Selama Lebih Dari Sepuluh Tahun. Dari Catatannya Dapat Dikatakan Bahwa Agama Buddha Di India Dan Sumatra Mempunyai Banyak Kesamaan, Dimana I-Tsing Juga Menemukan Perbedaan Antara Agama Buddha Di China Dan Di India. I-Tsing Menghabiskan Waktunya Hidup Sendirian Sebagai Biksu Di India Dan Sumatra.

Dalam Catatannya Disebutkan Bahwa, Saat Itu Terdapat Lebih Dari Seribu Orang Pendeta Budha Di Kerajaan Sriwijaya. Aturan Dan Upacara Para Pendeta Budha Tersebut Sama Dengan Aturan Dan Upacara Yang Dilakukan Oleh Para Pendeta Budha Di India. I-Tsing Tinggal Selama 6 Bulan Di Kerajaan Sriwijaya Untuk Belajar Bahasa Sansekerta, Setelah Itu, Baru Ia Berangkat Ke Nalanda, India. Setelah Lama Belajar Di Nalanda, I-Tsing Kembali Ke Kerajaan Sriwijaya Pada Tahun 685 Dan Tinggal Selama Beberapa Tahun Untuk Menerjemahkan Teks-Teks Budha Dari Bahasa Sansekerta Ke Bahasa Cina. Seluruh Bukunya Merupakan Catatan Lengkap Tentang Kehidupan Biarawan. Ia Tinggal Di India Seluruhnya Berdasarkan Peraturan Vinnaya.

Catatan Lainnya Tentang Kerajaan Sriwijaya Adalah Karangan George Coedes. Dalam Catatan George Coedes Tersebut, Ia Menulis Karangannya Mengenai Kerajaan Sriwijaya Yang " Berjudul Le Royaume De Crivijaya " Pada Tahun 1918 M.

Catatan Lain Tentang Kerajaan Sriwijaya Adalah Catatan Kern. Lima Tahun Sebelum George Coedes Menyelesaikan Karangannya, Yaitu Pada Tahun 1913 M, Kern Telah Menerbitkan Tulisan Tentang Prasasti Kota Kapur, Sebuah Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Yang Ditemukan Di Pulau Bangka. Namun Saat Itu, Kern Masih Menganggap Nama Kerajaan Sriwijaya Yang Tercantum Pada Prasasti Tersebut Sebagai Nama Seorang Raja, Karena Cri Biasanya Digunakan Sebagai Sebutan Atau Gelar Raja.

Disamping Catatan Ada Juga Karya Terjemahan Tentang Kerajaan Sriwijaya. Pada Tahun 1896 M, Sarjana Jepang Takakusu Menerjemahkan Karya I-Tsing, Nan-Hai-Chi-Kuei-Nai Fa-Chan Ke Dalam Bahasa Inggris Dengan Judul [ A Record Of The Budhist Religion As Practised In India And The Malay Archipelago ]. Namun, Dalam Buku Tersebut Tidak Terdapat Nama Kerajaan Sriwijaya, Yang Ada Hanya Shih-Li-Fo-Shih.

Dari Terjemahan Prasasti Kota Kapur Yang Memuat Nama Kerajaan Sriwijaya Dan Karya I-Tsing Yang Memuat Nama Shih-Li-Fo-Shih, Coedes Kemudian Menetapkan Bahwa, Kerajaan Sriwijaya Adalah Nama Sebuah Kerajaan Di Sumatera Selatan.

Sumber Catatan Lain Tentang Kerajaan Sriwijaya, Yaitu Catatan Seorang Sejarawan Arab, Kerajaan Sriwijaya Disebut Sribuza. Masudi, Seorang Sejarawan Arab Klasik Menulis Catatan Tentang Kerajaan Sriwijaya Pada Tahun 955 M. Dalam Catatan Itu, Digambarkan Kerajaan Sriwijaya Merupakan Sebuah Kerajaan Besar, Dengan Tentara Yang Sangat Banyak. Hasil Bumi Kerajaan Sriwijaya Adalah Kapur Barus, Kayu Gaharu, Cengkeh, Kayu Cendana, Pala, Kardamunggu, Gambir Dan Beberapa Hasil Bumi Lainya.

Dari Catatan Asing Tersebut, Bisa Diketahui Bahwa Kerajaan Sriwijaya Merupakan Kerajaan Besar Pada Masanya, Dengan Wilayah Dan Relasi Dagang Yang Luas Sampai Ke Madagaskar. Sejumlah Bukti Lain Berupa Arca, Stupika, Maupun Prasasti Lainnya Semakin Menegaskan Bahwa, Pada Masanya Kerajaan Sriwijaya Adalah Kerajaan Yang Mempunyai Komunikasi Yang Baik Dengan Para Saudagar Dan Pendeta Di Cina, India Dan Arab. Hal Ini Hanya Mungkin Bisa Dilakukan Oleh Sebuah Kerajaan Yang Besar, Berpengaruh, Dan Diperhitungkan Di Kawasannya.
RANGKUMAN TENTANG KERAJAAN SRIWIJAYA
________________________________________

CARA MEMPERLUAS KEKUASAAN KERAJAAN SRIWIJAYA
________________________________________
Salah Satu Cara Untuk Memperluas Pengaruh Kerajaan Sriwijaya Adalah Dengan Melakukan Perkawinan Dengan Kerajaan Lain. Hal Ini Juga Dilakukan Oleh Penguasa Kerajaan Sriwijaya. Dapunta Hyang Yang Berkuasa Sejak 664 M, Melakukan Pernikahan Dengan Sobakancana, Putri Kedua Raja Kerajaan Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan Ini Melahirkan Seorang Putra Yang Menjadi Raja Kerajaan Sriwijaya Berikutnya: Dharma Setu. Dharma Setu Kemudian Memiliki Putri Yang Bernama Dewi Tara. Putri Ini Kemudian Ia Nikahkan Dengan Samaratungga, Raja Kerajaan Mataram Kuno Dari Dinasti Syailendra. Dari Pernikahan Dewi Setu Dengan Samaratungga, Kemudian Lahir Bala Putra Dewa Yang Menjadi Raja Di Kerajaan Sriwijaya Dari 833 Hingga 856 M.

SILSILAH RAJA DI KERAJAAN SRIWIJAYA
________________________________________
Berikut Ini Daftar Silsilah Para Raja Kerajaan Sriwijaya :
Dapunta Hyang Sri Yayanaga [ Prasasti Kedukan Bukit 683, Talang Tuo, 684 ].
1. Cri Indrawarman [ Berita Cina, Tahun 724 ].
2. Rudrawikrama [ Berita Cina, Tahun 728, 742 ].
3. Wishnu [ Prasasti Ligor, 775 ].
4. Maharaja [ Berita Arab, Tahun 851 ].
5. Balaputradewa [ Prasasti Nalanda, 860 ].
6. Cri Udayadityawarman [ Berita Cina, Tahun 960 ].
7. Cri Udayaditya [ Berita Cina, Tahun 962 ].
8. Cri Cudamaniwarmadewa [ Berita Cina, Tahun 1003, Prasasti Leiden, 1044.
9. Maraviyayatunggawarman [ Prasasti Leiden, 1044 ].
10. Cri Sanggaramawijayatunggawarman [ Prasasti Chola, 1044 ].

MASA KEJAYAAN KERAJAAN SRIWIJAYA
________________________________________
Kerajaan Sriwijaya Berkuasa Dari Abad Ke-7 Hingga Awal Abad Ke-13 M, Dan Kerajaan Sriwijaya Mencapai Zaman Keemasan Di Jaman Pemerintahan Balaputra Dewa [ 833-856 M ]. Kemunduran Kerajaan Sriwijaya Ini Berkaitan Dengan Masuk Dan Berkembangnya Agama Islam Di Sumatera, Dan Munculnya Kekuatan Singosari Dan Majapahit Sebagai Kekuatan Tandingan Di Pulau Jawa. Dalam Sejarah Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Sriwijaya Menguasai Bagian Barat Nusantara. Salah Satu Faktor Yang Menyebabkan Kerajaan Sriwijaya Bisa Menguasai Seluruh Bagian Barat Nusantara Adalah Runtuhnya Kerajaan Fu-Nan Di Indocina. Sebelumnya, Fu-Nan Adalah Satu-Satunya Pemegang Kendali Di Wilayah Perairan Selat Malaka. Faktor Lainnya Adalah Kekuatan Armada Laut Kerajaan Sriwijaya Yang Mampu Menguasai Jalur Lalu Lintas Perdagangan Antara India Dan Cina. Dengan Kekuatan Armada Yang Besar, Kerajaan Sriwijaya Kemudian Melakukan Ekspansi Wilayah Hingga Ke Pulau Jawa. Dalam Sumber Lain Dikatakan Bahwa, Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya Sampai Ke Brunei Dan Di Pulau Borneo.

PENYEBAB KERUNTUHAN KERAJAAN SRIWIJAYA
________________________________________
Pada Abad Ke-11 M, Kerajaan Sriwijaya Mulai Mengalami Kemunduran. Pada Tahun 1006 M, Kerajaan Sriwijaya Diserang Oleh Dharmawangsa Dari Jawa Timur. Serangan Ini Berhasil Dipukul Mundur, Bahkan Kerajaan Sriwijaya Mampu Melakukan Serangan Balasan Dan Berhasil Menghancurkan Kerajaan Dharmawangsa. Pada Tahun 1025 M, Kerajaan Sriwijaya Mendapat Serangan Yang Melumpuhkan Dari Kerajaan Cola, India. Walaupun Demikian, Serangan Tersebut Belum Mampu Melenyapkan Kerajaan Sriwijaya Dari Muka Bumi. Hingga Awal Abad Ke-13 M, Kerajaan Sriwijaya Masih Tetap Berdiri, Walaupun Kekuatan Dan Pengaruhnya Sudah Sangat Jauh Berkurang.

POLA DAN SYSTEM PEMERINTAHAN DI KERAJAAN SRIWIJAYA
________________________________________
Dari Prasasti Kota Kapur Yang Ditemukan JK Van Der Meulen Di Pulau Bangka Pada Bulan Desember 1892 M, Diperoleh Petunjuk Mengenai Kerajaan Sriwijaya Yang Sedang Berusaha Menaklukkan Bumi Jawa. Meskipun Tidak Dijelaskan Wilayah Mana Yang Dimaksud Dengan Bhumi Jawa Dalam Prasasti Itu, Beberapa Arkeolog Meyakini, Yang Dimaksud Bhumi Jawa Itu Adalah Kerajaan Tarumanegara Di Pantai Utara Jawa Barat. Selain Dari Isi Prasasti, Wilayah Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya Juga Bisa Diketahui Dari Persebaran Lokasi Prasasti-Prasasti Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Tersebut. Di Daerah Lampung Ditemukan Prasasti Palas Pasemah, Di Jambi Ada Karang Berahi, Di Bangka Ada Kota Kapur, Di Riau Ada Muara Takus. Semua Ini Menunjukkan Bahwa, Daerah-Daerah Tersebut Pernah Dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Sumber Lain Ada Yang Mengatakan Bahwa, Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya Sebenarnya Mencapai Philipina. Ini Merupakan Bukti Bahwa, Kerajaan Sriwijaya Pernah Menguasai Sebagian Besar Wilayah Nusantara.

Kekuasaan Tertinggi Di Kerajaan Sriwijaya Dipegang Oleh Raja. Untuk Menjadi Raja, Ada Tiga Persyaratan Yaitu :
1. Samraj, Artinya Berdaulat Atas Rakyatnya.
2. Indratvam, Artinya Memerintah Seperti Dewa Indra Yang Selalu Memberikan Kesejahteraan Pada Rakyatnya.
3. Ekachattra. Eka Berarti Satu Dan Chattra Berarti Payung. Kata Ini Bermakna Mampu Memayungi [ Melindungi ] Seluruh Rakyatnya. Penyamaan Raja Dengan Dewa Indra Menunjukkan Raja Di Kerajaan Sriwijaya Memiliki Kekuasaan Yang Bersifat Transenden. Belum Diketahui Secara Jelas Bagaimana Struktur Pemerintahan Di Bawah Raja. Salah Satu Pembantunya Yang Disebut Secara Jelas Hanya Senapati Yang Bertugas Sebagai Panglima Perang.

Di Bidang Perdagangan, Kerajaan Sriwijaya Mempunyai Hubungan Perdagangan Yang Sangat Baik Dengan Saudagar Dari Cina, India, Arab Dan Madagaskar. Hal Itu Bisa Dipastikan Dari Temuan Mata Uang Cina, Mulai Dari Periode Dinasti Song [ 960-1279 M ] Sampai Dinasti Ming [ Abad 14-17 M ]. Berkaitan Dengan Komoditas Yang Diperdagangkan, Berita Arab Dari Ibn Al-Fakih [ 902 M ], Abu Zayd [ 916 M ] Dan Mas'Udi [ 955 M ] Menyebutkan Beberapa Di Antaranya, Yaitu Cengkeh, Pala, Kapulaga, Lada, Pinang, Kayu Gaharu, Kayu Cendana, Kapur Barus, Gading, Timah, Emas, Perak, Kayu Hitam, Kayu Sapan, Rempah-Rempah, Dan Penyu. Barang-Barang Ini Dibeli Oleh Pedagang Asing, Atau Dibarter Dengan Porselen, Kain Katun Dan Kain Sutra.

Garap ‘Dapunta’, Hanung Bramantyo Habiskan Dana Rp 9,2 M


Sutradara muda Hanung Bramantyo kembali menggarap film bertemakan sosial yang berjudul ‘Dapunta’. Tak tanggung-tanggung ia menghabiskan dana sekitar Rp 9,2 milliar.

Judul ‘Dapunta’ itu diambil dari nama salah seorang panglima perang di masa kerajaan Sriwijaya yang sangat berani. Untuk itulah seting film ini mengambil beberapa daerah di Palembang Sumatera Selatan. Sebanyak kurang lebih 500 orang pun dilibatkan untuk bermain dalam film tersebut.

Tak hanya bintang film besar asal Ibukota yang dilibatkan, tetapi juga masyarakat asli daerah seperti Ilham (22) dan Siti Helda Meilita (21) turut bergabung dalam produksi film ini. Bintang besar lainnya adalah Agus Kuncoro, Zaskia Adya Mecca, Medina dan masih banyak lagi.

“Kalau untuk dana film segitu sih relatif, karena semua tergantung penyajiannya. Saya akan berusaha memberikan yang terbaik dan bisa mewakili kebudayaan dan kebanggan dari masyarakat Sumatera Selatan. Salah satunya adalah dengan menampilkan festival perahu bidar yang sudah menjadi ciri khas,” ujarnya saat konferensi pers di Ballroom Hotel Aryaduta Palembang, Sumsel, Sabtu (25/6/2011).

Dana pembuatan film ini sepenuhnya didukung pemerintah propinsi Sumatera Selatan di bawah kepemimpinan Gubernur H. Alex Noerdien. Di bawah bendera Putar Production yang pernah menggarap film ‘Kun Fayakun’ itu, sutradara yang juga pernah sukses membuat film ‘Ayat-ayat Cinta’ dan ‘Sang Pencerah’ tersebut mengaku cukup optimis dalam pembuatan film ‘Dapunta’.

“Kita ingin mengajak semua masyarakat yang ada di sini untuk terlibat, jadi kurang lebih banyaknya yang main hampir sama kayak film kolosal karena melibatkan banyak orang,” ungkapnya.

Meski menggarap film bertemakan sosial, suami dari artis Zaskia Adya Mecca itu tak ingin terlalu kaku dalam penyajiannya. Ia tetap akan membumbui film tersebut dengan unsur-unsur percintaan, komedi dan yang pasti tetap akan memberikan pesan sosial yang dikemas oleh tangan dinginnya.

‘Dapunta’ berkisah tentang seorang anak kecil asal daerah yang cukup terpencil, yatim (tak punya ayah) dan harus bekerja membantu ibunya berdagang rempah-rempah di sebuah pasar di desanya. Ia dilahirkan di pinggir sungai dan ingin mengabdikan diri kepada sungai tersebut meskipun ayahnya meninggal terseret arus sungai tersebut.

Ia berusaha menaklukan sungai tersebut dan bercita-cita untuk menjadi seorang atlet dayung. Namun sayang, sang ibu tak mengizinkan karena rasa traumatik suaminya meninggal tenggelam di sungai.

“Nah, akhirnya pada suatu titik ia diketemukan oleh seorang arsitek yang sedang membangun sarana dan prasarana pemerintahan di daerahnya yang juga menyukai dayung. Ia pun bergabung untuk mengikuti sebuah festival perahu bidar karena ingin membanggakan Palembang dengan memenangkan dayung tersebut,” jelasnya.

Mau tau bagaimana kisah ‘Dapunta’ itu difilmkan? Tunggu saja tanggal mainnya. Film ini rencananya akan tayang diseluruh bioskop se-Indonesia pada 1 November 2011 sebelum acara Sea Games 2011 di Sumatera Selatan digelar.

Tantangan Hanung Bramantyo Garap Film ‘Dapunta’


Meski terbilang cukup piawai dan terbukti handal dalam menggarap sebuah film, sineas muda Hanung Bramantyo mengaku memiliki tantangan tersendiri dalam menggarap film terbarunya ‘Dapunta’.

“Tantangannya mungkin karena hampir 50 persen syutingnya ini di atas air yang ada riamnya. Jadi kita harus bikin maket dan dipetakan terlebih dahulu, biar semuanya berjalan lancar,” ujar Hanung kepada detikhot dalam perjalanan pulang pra produksi film ‘Dapunta’ di Palembang, Minggu (26/6/2011).

Untuk persiapan dan risetnya saja membutuhkan waktu kurang lebih 3 bulan. Ia juga harus membuat perahu bidar dan perahu sendiri untuk kamera. Waktu itu juga sudah termasuk untuk casting aktor dan aktris asli asal Palembang. Rencananya, film ini akan mulai syuting pada pertengahan Juli mendatang di beberapa daerah berpotensi di Sumatera Selatan termasuk sungai Musi dan Jembatan Ampera.

“Untuk syutingnya mungkin akan memakan waktu satu bulan. Karena kita harus pindah-pindah lokasi yang jaraknya lumayan jauh dan memakan banyak waktu,” tambah Hanung.

Selain itu dari segi pengemasannya juga sangat dipikirkan oleh Hanung matang-matang. Ia tak ingin asal membuat film yang memperkenalkan potensi daerah tanpa pengemasan yang apik dan terkesan kaku. Sutradara yang pernah sukses membesut film ‘Ayat-ayat Cinta’ itu punya strategi tersendiri.

“Karena tujuan dari film ini adalah memotret tiga unsur, yaitu tentang pendidikan, pelayanan pemerintah gratis dan berbicara tentang sea game. Jadi kita harus benar-benar mengemasnya dengan baik, agar tak terlihat seperti penyuluhan,” jelasnya.

Ditambahkan oleh Gubernur Sumsel, H Alex Noerdien yang saat konferensi pers hadir, banyak cara untuk menjual dan memperkenalkan potensi di daerahnya, salah satunya adalah dengan media film. Oleh karena itulah ia berani mendanai seluruh biaya produksi demi mempromosikan daerahnya di seluruh Indonesia.

Dalam menggarap film ini, Hanung juga akan memperkenalkan potensi-potensi dari berbagai daerah di Sumatera Selatan yang bisa dibanggakan dan dapat mengundang wisatawan lokal ataupun mancanegara untuk berkunjung ke Sumatera Selatan. Agar terjadi peningkatan pendapatan daerah yang bisa membuka lapangan pekerjaan dan mensejahterakan masyarakatnya.

Pengemasan juga menjadi faktor yang sangat penting bagi Hanung agar filmnya menjadi bagus. Rencananya, film ini akan di rilis seminggu sebelum pelaksanaan Sea Games 2011 diseluruh bioskop Indonesia.

Lagu Astor Kid's


www.4shared.com
Astor Kid's-KANDAS.mp3-4shared.com

www.4shared.com
Astor Kid's-dua hati.mp3-4shared.com

www.4shared.com
Astor Kid's-air mata buaya.mp3-4shared.com

www.4shared.com
Astor Kid's-Berakhir.mp3-4shared.com

www.4shared.com
Astor Kid's-Rindu Terpendam.mp3-4shared.com




Lagu-Lagu Daerah Kab.Musi Banyuasin

www.4shared.com
MARE-MARE KAU BADAN-NIZAM BAND.mp3-4shared.com

www.4shared.com
PUCUK PAUH-NIZAM BAND.mp3-4shared.com

www.4shared.com
SUKAT MALANG-NIZAM BAND.mp3-4shared.com

www.4shared.com
STABIK-NIZAM BAND.mp3-4shared.com



Lagu-Lagu Daerah Kab.Musi Banyuasin

1.MARE-MARE KAU BADAN-NIZAM BAND.mp3
www.4shared.com
MARE-MARE KAU BADAN-NIZAM BAND.mp3-4shared.com

Astor Kid's-dua hati.mp3 - 4shared.com - penyimpanan dan berbagi-pakai file online - unduh - Astor Kid's-dua hati.mp3

Astor Kid's-dua hati.mp3 - 4shared.com - penyimpanan dan berbagi-pakai file online - unduh - <a href="http://www.4shared.com/audio/LaM0QONc/Astor_Kids-dua_hati.html" target="_blank">Astor Kid's-dua hati.mp3</a>

Penampilan team Kesenian Kab.MUBA di festival Besema,Kab.Pagar alam 2011







Astor Kid's Galery